Monday, December 14, 2009

gurusenusantara.com: mimpi seorang anak Sumatera

Berdiri di atas negeri yang sama, berucap dengan bahasa yang sama, belajar melalui tiga jenjang yang ditetapkan oleh pemerintah yang sama, dan menggunakan seragam yang sama ternyata belum dapat menghapuskan dikotomi/ pengkotak-kotakan dalam hal pendidikan. Masih ada anggapan bahwa, murid-murid di pulau Jawa mempunyai kemampuan akademik di atas anak-anak di luar Jawa pada umumnya. Aku anak Sumatera, dan anggapan atau pemikiran seperti itu makin sering ku dengar di detik-detik terakhir masa SMA dulu. Banyak pihak di sekolah yang pesimis tentang jumlah lulusan yang akan mendapat kursi di universitas-universitas ternama di pulau Jawa. Sikap pesimistis yang tertangkap oleh para murid kemudian berkembang menjadi suatu tekad pembuktian bahwa anak Sumatera mampu, kemudian keberhasilan menjadi sesuatu yang sangat membangggakan.
Ketika semua fenomena dikotomi itu melesat dalam benak, aku teringat kalimat Ayah: “dimanapun kita belajar kalau kita betul-betul belajar, kita akan mendapatkan yang terbaik tapi jika kita tidak betul-betul serius menimba ilmu, kita tidak akan pernah berhasil meski bersekolah di tempat paling berkualitas sekalipun”. Jadi apa yang sebetulnya membuat orang beranggapan bahwa murid di Pulau Jawa lebih berkualtias dibandingkan murid di luar jawa? Apa memang karena Jawa menjadi pusat pemerintahan sehingga sekolah-sekolah di sana mendapatkan fasilitas dan metode belajar yang setingkat di atas fasilitas dan metode belajar di luar Jawa? Pertanyaan itu yang selalu terngiang. Pertanyaan itu jugalah yang membawaku pada suatu mimpi yang belum terwujud hingga kini dan mungkin terdengar agak konyol. Mimpi seorang anak Sumatera yang ingin sama-sama diperhitungkan dengan anak-anak di pulau Jawa yakni: bisa belajar dari semua guru di nusantara. Tapi jangan laporkan aku pada polisi jika kuberitahu alasan semua itu. Aku sangat ingin mencuri dari mereka semua, mencuri ilmu dan motivasi, serta kunci sukses yang mungkin belum kudapatkan sebelumnya.
Mimpi itu tentu akan sangat konyol jika diwujudkan dengan berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain di daerah yang berbeda pula, terlebih lagi jika aku harus menyeberang lautan untuk belajar dari guru-guru Kalimantan atau Papua misalnya. Melihat kenyataan aku terbentur dan terhimpit pada tembok waktu, tenaga, dan materi yang harus dikeluarkan untuk mewujudkan sebuah mimpi. Kini aku bagi mimpi itu, mimpi belajar dari guru senusantara yang kukemas dalam metode yang dapat diterima akal dan tidak sulit untuk diwujudkan di tengah keberadaaan teknologi informasi dalam gurusenusantara.com.
gurusenusantara.com adalah pemanfaatan internet dalam bentuk website yang akan menghubungkan seluruh murid dan guru di seluruh nusantara. Tentu murid tersebut adalah mereka yang selalu merasa haus dan mempunyai semangat untuk terus belajar diluar sekolah. gurusenusantara.com memuat profil guru-guru seantero nusantara yang diatur dalam peta lokasi guru yang bersangkutan. Peta lokasi guru menunjukkan profil guru yang dapat diakses, asal sekolah dan daerah asalnya yang akan memudahkan pencarian/ pilihan para murid yang mengakses gurusenusantara.com. Fasilitas tersebut memungkinkan murid-murid dari berbagai sudut di nusantara mengakses profil dan fitur terkait dengan guru-guru tersebut, misalnya kamu yang ada di Papua dapat terhubung dan belajar dengan pengajar di Aceh.
Fitur yang disediakan gurusenusantara.com tentu sangat variatif dan bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan memudahkan pemahaman para murid yang mengakses, antara lain bahan ajar yang disusun oleh para guru dalam format perangkat ajar berbasis multimedia. Perangkat ajar dikemas dengan memadukan teknologi audio dan visual yang lebih atraktif bagi para murid, perangkat ajar tersebut dapat diunduh untuk dipahami lebih lanjut meski tidak terhubung dengan gurusenusantara.com. Selain itu, ada fasilitas video conference memanfaatkan layanan skype atau layanan video conference lain yang membuat murid dari seluruh nusantara dapat mengikuti kegiatan belajar yang sama dimana guru tersebut mengajar pada kenyataannya. Kegiatan belajar yang sama, berarti di dalamnya ada metode penyampaian yang sama dan kalimat yang diucapkan pun sama, sehingga kebersamaan dan kesetaraan dapat diwujudkan disini. Guru yang bersangkutan juga menyediakan tautan (link) yang terkait dengan bahan ajar, misalnya referensi buku, tautan website yang memuat materi tertulis, tautan youtube yang merupakan acuan dari luar sesuai dengan bahan ajar, dan link untuk bertanya lebih lanjut ke guru yang bersangkutan.
Hal yang sangat menyenangkan bisa belajar dari guru se-nusantara. Itu mimpiku, seorang anak Sumatera. Suatu saat pasti terwujud.

Monday, August 31, 2009

GEPENG: Eksploitasi Amal Saat Ramadhan

Mangkok-mangkok plastik kecil dengan beberapa recehan di dalamnya, dan tangan menengagadah milik perempuan dan laki-laki tua penuh kerut pahatan hidup di atasnya lengkap dengan wajah memelas menggugah simpati hingga tangan bergerak merogoh saku untuk tak segan mengeluarkan lembaran-lembaran rupiah. Tak sampai satu meter dari sang penegadah sebelumnya, kondisi yang sama akan terlihat lagi. Bak jamur di musim penghujan. Menjamurnya GEPENG (GEladanangan dan PENGemis)memang tak ada kaitan dengan musim penghujan karena cuaca memang tak lagi tentu di tengah saat ini, kondisi tersebut justru sangat erat kaitannya dengan bulan suci Ramadhan. Ya, GEPENG mulai menjamur sejak beberapa hari menjelang Ramadhan. Dari Ramadhan ke Ramadhan, kondisinya sama bahkan lebih buruk karena jumlahnya yang meningkat dan pemandangan orang-orang yang tergerak hatinya itu menjadi pemandangan yang sangat sangat lumrah. Seperti diketahui bahwa Allah menjanjikan umatnya ganjaran berlipat-lipat untuk amal sekecil apa pun di bulan Ramadhan, sehingga para umat muslim yang berusaha mendapatkan ridha Allah akan sangat berusaha meningkatkan amalnya dengan salah satunya memberi sedeqah.
Ironisnya, kondisi tersebut justru dieksploitasi orang-orang malas, putus harapan, dan berfikir pendek hingga menggantungkan hidup dari welas asih pemberi sedeqah di bulan Ramadhan. Ini bukan suatu bentuk ungkapan kemarahan personal karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mampu, secara lahiriah. Mereka mempunyai fisik yang sempurna yang dapat sangat membantu mereka mendapatkan pekerjaan halal yang lebih layak selain menengadahkan tangan, meminta-minta dari para dermawan. GEPENG tak lagi menjadi kondisi tapi sudah menjadi profesi. Bukan kondisi serba kekurangan dari segi lahiriah misalnya yang memberikan berbagai keterbatasan kepada mereka untuk dapat menghidupi diri sendiri, tapi telah menjadi profesi karena dari sebagian besar GEPENG Ramadhan itu adalah GEPENG musiman. Orang-orang yang meninggalkan pekerjaannya dan beralih profesi menjadi GEPENG kala Ramadhan. Bukan tanpa sebab, melainkan karena hasil dari eksploitasi amal kaum muslim -yang notabene-nya merupakan mayoritas penduduk negeri- akan jauh lebih menjanjikan.
Para pemberi sedeqah sendiri yang telah sangat terbiasa menyalurkan sedeqahnya pada mangkok-mangkok plastik di sepanjang jembatan atau di perempatan jalan akan dibahwa pada pilihan tetap menyalurkan pada mangkok-mangkok itu atau mencari media distribusi sedeqah yang lebih dapat dipercaya hingga apa yang diberi sampai pada tangan yang betul-betul membutuhkan. Sejatinya, semua itu tidak akan menjadi permasalahan karena telah diniatkan untuk memberi, namun akan lebih baik jika kita tahu bahwa pemberian itu akan sampai di tempat yang benar.

17 Agustus: Apakah Hanya Nasionalisme Satu Hari?



Upacara. Kegiatan wajib di hari kemerdekaan setiap tahunnya, di mana setiap orang yang berkesempatan mengikuti upacara pengibaran Merah Putih dan mendengar naskah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, lagi. Sekolah, kantor, dan tempat-tempat lain mempersiapkan Upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berbeda dari upacara-upacara senin dan hari nasional lain. Ini upacara spesial, meyangkut titik awal sejarah bangsa ini. Lain sisi, merah putih berkibar gagah di setiap tiang-tiang jalan, perkantoran, hingga pemukiman warga. Pernak-pernik khas hari proklamasi mendominasi seluruh negeri. Masyarakat pun berusaha tampil matching di hari itu dengan menyiapkan kostum khusus merah putih tanda keikutsertaan dalam pesta kemerdekaan seantero negeri. Beberapa hari bahkan satu minggu sebelum hari H, 17 Agustus, berbagai perlombaan rakyat yang hanya ada di bulan Agustus digelar. Sembilan tahun lalu, saya masih aktif ikut dalam berbagai perlombaan yang ada. Ya, sembilan tahun lalu, kala saya pun masih memakai seragam merah putih. Lomba makan kerupuk, membawa kelereng dengan sendok, memindahkan bendera dari satu botol ke botol lain, memasukkan paku dalam botol dan benang dalam jarum, dan mengambil koin pada labu yang coreng moreng, itulah segenap lomba khas Agustusan kata orang, yang selalu ada di bagian memori seorang anak Indonesia ini. Lain sisi, para remaja dan generasi tua akan menyiapkan acara penuh musik-musikan alias panggung hiburan untuk warganya. Rutin, satu tahun sekali. Kota besar? Saya rasa setiap Indonesia dapat melihat dan merasakan sendiri bagaimana bentuk kemeriahan dan semarak 17 Agustus, wujud suka cita di kota-kota besar lewat layar kaca. Meriah, bahkan sangat meriah.
Sekarang, 17 Agustus sudah lewat, merah putih tak lagi mendominasi jalan-jalan, meski masih berkibar di tiang-tiang perkantoran lewat upacara rutin setiap minggu. Berbagai perlombaan rakyat tak lagi digelar, semua usai kala setiap pemenang dari perlombaan tersebut mendapatkan hadiah di penghujung acara. Saat lomba berlangsung, semua terlarut dalam kemeriahan suasana, segelintir saja yang mencermati dan dapat mengambil nilai di balik serangkaian perlombaan itu bahwa untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan kita harus berusaha dan berkorban, serta bersaing dengan orang lain, begitu juga dengan kemerdekaan.Para pahlawan tak hanya berkorban waktu dan keringat, tapi juga darah dan seluruh jiwa demi kemerdekaan. Panggung hiburan yang digelar tak lagi mengusung tema Pesta Kemerdekaan atau Dirgahayu Bangsaku dan sederet tema-tema nasionalis lainnya. Panggung hiburan kala 17 Agustus pun tak menyisakan kesan mendalam yang berbulan-bulan tak hilang, selain meriah, banyak artis ibu kota, dipadati ribuan orang yang berdiri di tanah lapang, hingga kembang api. Adakah yang coba tinggal hingga panggung dan lapangan itu kosong? Apa yang tersisa? Serakan sampah sisa makan minum yang penikmat panggung hiburan yang akan menjadi urusan petugas kebersihan kemudian. Sisanya?
Tahun ke tahun, semuanya akan sama. Menjelang 17 Agustus, seluruh negeri bergegas menyiapkan seluruh kegiatan khas Agustusan, namun setelahnya? Usai tanpa geming hingga persiapan 17 Agustus berikutnya digelar dan acara-acara tahun sebelumnya dikumpulkan dalam tayangan flashback perayaan 17 Agustus. Inikah wujud nasionalisme? Untuk satu hari semua berlomba-lomba menunjukkan sikap nasionalis dan berusaha menterjemahkan nasionalis itu ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari pakaian, atribut, hiasan rumah, hingga ke perlombaan. Hanya di 17 Agustus kita bisa melihat merah putih menjadi warna yang mendominasi karena dibanggakan, hanya di 17 Agustus kita bisa melihat berbagai perlombaan syarat nilai perjuangan, hanya di 17 Agustus kita bisa melihat perayaan pesta rakyat, dan hanya di 17 Agustus nasionalisme menjadi meluap-luap. Adakah semua kegiatan 17 Agustus hanya untuk 17 Agustus itu sendiri? Apakah 17 Agustus hanya bentuk Nasionalisme satu hari?

Tuesday, August 25, 2009

Kontroversi Miss Universe

Ajang pemilihan ratu sejagad itu memang telah berlalu dan berhasil membawa putri venezuela sebagai juara. Stefania Fernandez, gadis berdarah campuran Ukraina, Galician, dan Polindia yang mewakili venezuela dan berhasil menjadi Miss Universe ke-58 di Bahama, baru berusia 18 tahun namun telah mengukir prestasi dalam kapasitas yang luar biasa. Tanah air sendiri belum berkesempatan untuk menjadi yang terbaik dalam ajang tersebut. Bahkan keikutsertaan wakil Indonesia di ajang tersebut masih menuai kontroversi beberapa pihak dari tahun ke tahun. Sebetulnya kontroversi itu sekaligus menunjukkan bahwa semua elemen bangsa ini peduli akan apa yang dilakukan pemuda-pemudi tanah air, namun bentuk kepedulian itu satu sisi positif dan lain sisi negatif.
Selama ajang tersebut berlangsung, Departemen pariwisata Indonesia, para sponsor, alumni putri Indonesia yang pernah ikut dalam kegiatan serupa, juga keluarga dan masyarakat umum tentu dalam keadaan harap-harap cemas akan kontribusi wakil Indonesia di ajang tersebut. Semua berharap Indonesia dapat memberikan yang terbaik, dapat membawa budaya dan karakter bangsa dalam setiap tutur kata dan gerak si wakil Indonesia. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa ada pihak yang menanti kesalahan terjadi seiring tak diberikannya restu mengikuti ajang tersebut. Sesi baju renang merupakan salah satu sesi yang mendasari kontroversi. Tidak sesuai dengan budaya bangsa. katanya. Dalam bahasa pribadi, in my personal belief tepatnya, ajang Miss Universe merupakan kegiatan pemilihan putri terbaik dari semua peserta yang dikemas dengan sangat berkualitas. Memberikan penilaian berdasarkan banyak aspek dan dinilai oleh orang-orang berkompeten kelas dunia. Para putri peserta pemilihan tersebut tentu akan dinilai melalui kecerdasan, tingkah laku, dan kecantikan, dan untuk sesi baju renang menurut saya adalah suatu bentuk penilaian akan kecantikan wanita yang dapat diterima oleh semua peserta Miss Universe sehingga mereka memutuskan untuk mengikuti ajang tersebut. Jadi, semua peserta sudah paham betul akan adanya penilaian dari sisi itu. Tidak ada kegiatan melecehkan, toh mereka tidak berpose yang melecehkan diri mereka sendiri. Terelepas dari semua kontroversi yang terjadi, sebagai komponen bangsa Indonesia tentu kita sangat mengharapkan peran yang lebih baik dari wakil-wakil Indonesia mendatang.

Thursday, August 13, 2009

Ledakan Emosi, Bullying isn't a tiny case

Bullying: kegiatan intimidasi pada orang yang lebih lemah sehingga orang tersebut melakukan sesuatu atau memberikan dampak tertentu (dalam ruang lingkup negatif). Tindakan intimidasi dapat berupa kata-kata maupun intimidasi melalui perlakuan fisik.
Istilah bullying sendiri memang masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia, namun bentuk perlakuan itu sebetulnya sudah berlangsung sejak lama -tepatnya sejak manusia mempunyai keinginan untuk terlihat lebih baik dari yang lain atau sejak manusia menyadari kondisi kuat lemah masing-masing individu. Seperti yang diungkapkan Thomas Hobbes dengan homo homo nilupus-nya, yang dengan kata lain manusia adalah serigala bagi manusia lain.
Efek Bullying setidaknya ada dua, membuat korbannya menjadi pemberontak dengan kata lain menjadi sama kasarnya dengan tindakan yang diterima, atau justru menyimpan semua permasalahan itu sendiri karena kurangnya keterbukaan/ komunikasi dengan orang-orang terdekat. Efek kedua dimana seorang korban bullying menyimpan, menumpuk, dan menahan semua perlakuan yang tidak disukainya selama jangka waktu tertentu akan menyebabkan ledakan emosi di satu waktu, tepatnya ketika merasa tidak lagi memiliki kemampuan untuk menghadapi semua masalahnya. Setidaknya itulah yang dialami oleh salah satu selebriti tanah air ini, yang kasusnya menghebohkan jagat maya sejak dua hari terakhir. Well, tidak berniat untuk membahas kontroversinya, tapi melihat dari sisi psikologisnya.
Sang Bunda beranggapan bahwa memang ada pertengkaran ala anak SD yang dialami oleh artis tersebut, namun itu bukanlah hal yang besar. Akan tetapi statemen tersebut harus diubah,. Bullying isn't a tiny case! Justru tindakan bullying yang berada di balik layar pertengkaran anak SD lebih berbahaya karena jangka waktu untuk efek yang diberikan akan lebih panjang (jika korban bullying memilih untuk menahan dan menyimpan masalahnya) dan penyikapan terhadap tindakan bullying yang dialami bisa saja tidak tepat karena usia kanak-kanak yang memang belum terorganisir emosinya. Lebih lanjut, korban bullying masa kanak-kanak tersebut akan memiliki emosi yang labil dan mudah terganggu psikologisnya ketika menghadapi tekanan-tekanan lain. So, Be care of your environment, watch out all action of bullying!

Friday, July 10, 2009

Ada yang hilang dalam diam...

Bak semangat yang tergerus enggan,
Bak rasa yang tersingkir jarak,
Bak euforia yang memudar setelah klimaks,
yang tumbuh dalam diam,
rasa hilang, kehilangan, membahana kenangan

sugesti mendominasi,
menyusup semua sisi otak tanpa celah...
menghasilkan satu doktrin tunggal
"kehilangan"
bak terenggut dari genggaman erat,
cepat bagai kilat

kilas balik tampil laksana film tayang ulang,
yang ku simpan,
yang ku hargai...
yang ku yakini sebagai milik,

mereka,
waktu itu,
dia,
terenggut, terampas, dan terhempas
Aku.

Monday, May 11, 2009

berhenti pada kata menanti

Oleh. rere.nEnggeLo

"Semua orang menyimak
tenggelam dalam syahdunya doa
semua bersyukur,
atas karunia yang tak terukur
America to America

Dapatkah bangsaku demikian?
Diam dalam doa
Hanyut dalam perenungan
Menghargai orang lain, mereka yang bicara

Belum,
Belum dapat,
selama mantra-mantri itu
masih ditegur presiden di tengah rapat
selama pejabat-penjahat itu
masih tenggelam dalam kantuk
setelah dalu memainkan kartu

Wahai Indonesiaku...
Kapan penantian sampai di gawang harapan?"


Sebetulnya, kata-kata itu menyeruak keluar setelah menyaksikan acara pelantikan presiden AS ke-44 beberapa waktu lalu, tapi goresan tintanya termangu diantara lembaran kertas buku harianku saja. Hingga akhirnya terpaksa tampil karena aku begitu jengah melihat layar kacaku yang mendadak homogen di semua salurannya. Terkesan seperti dieksploitasi masal oleh semua pihak yang berkepentingan dan memiliki daya untuk mengeksploitasinya. Begitu out of control, sehingga kata-kata yang terlontar dari berbagai pihak sudah tidak layak tampil mengingat citra yang ditampilkan masing-masing pihak tersebut selama ini. Kharismatik, sabar, bijaksana, berwibawa dan intelek, rasanya semua menguap sia-sia di balik ambisi yang mendominasi.
Ricuh penolakan hasil pemilu legislatif, isu pemilu yang diulang sampai isu memboikot pemilu presiden juga tenggelam begitu saja karena semuanya hanya bisa mendapatkan apa yang dikehendaki melalui satu pintu yang sama, jadi mau tidak mau ya harus menyamakan titik start-nya. Akan tetapi, dari kacamata seorang rakyat alangkah kurang etisnya jika persaingan itu begitu terbuka di hadapan publik dengan metode persaingan yang demikian tak terkendalinya. Semua tahu bahwa pemilu adalah bentuk kompetisi yang sejatinya mempertandingkan manusia-manusia kompeten yang pantas bersaing satu sama lain dengan metode-metode yang sarat akan intelektualitas, dan pasti ada pemenang dari proses tersebut. Sisi lainnya tentu memperlihatkan kekurangberuntungan pihak yang kalah. Namun, semuanya tak tergambar saat ini, yang ada hanyalah ambisi kemenangan yang meluap-luap di balik visi misi membangun bangsa. Lantas kepada siapa rakyat harus percaya dan mempercayakan harapan-harapannya akan bangsa ini? Akan jadi apa negara yang berdiri tanpa kepercayaan rakyatnya?