Monday, October 17, 2011

Seribu Dua ribu ala Penyair Jalanan

Tidak tahu pastinya kapan mereka mulai berbaur menjadi satu di jalanan, di dalam bus-bus sejuta pengharapan tepatnya. Ini kali kedua saya berada di situasi yang cukup menegangkan.

Lapar…

Lapar Tuan, Lapar Nyonya…
Lapar itu sangat menyakitkan!

lelaki itu berteriak kencang membacakan syair yang lebih tepat dikatakan umpatan, cacian, atau makian terhadap keadaan. dari caranya berteriak, dia cukup kuat untuk menjadi kuli angkut atau kuli bangunan daripada di bus kota.

Tentu saja mereka tidak bersenandung, melantunkan lagu-lagu melayu seperti lazimnya pengamen simpang empat atau membawakan indo pop yang digandrungi remaja saat ini.

saya merogoh kantong dengan hati-hati, mencoba menemukan pecahan kecil rupiah. dalam hati memang ingin memberi, tapi yang terjadi? kamu justru akan membaca lebih banyak takut dari bahasa tubuh saya. Betapa tidak…

daripada kami mencopet,
merampok harta Anda,
lebih baik kami membaca puisi
seribu dua ribu tidak ada artinya bagi tuan dan nyonya!

ada unsur pemaksaan, penekanan, dan bumbu ancaman. Kontan saja penumpang lain langsung merapatkan barang bawaannya. Khawatir kalau-kalau para penyair jalanan itu kalap atau gelap mata.

Entah kapan mereka mulai menjadi penghuni baru komplek simpang empat, berdampingan dan bertetangga dengan pengemis, pengamen, preman, dan mereka yang menjadikan jalanan sebagai tempat tinggalnya.

Aih, andai saja mereka tahu betapa berartinya seribu dua ribu itu.
andai mereka tahu betapa susah dan bersabarnya pedagang kecil di sudut pasar, bersimbah peluh menunggu pembeli hanya untuk seribu dua ribu.

betapa mereka yang tak sempurna fisiknya menaruh harap akan fisik yang sempurna seperti mereka punya.
betapa banyak dari mereka yang tak sempurna fisiknya mengharamkan dirinya dari meminta-minta.

Lapar…

Lapar Tuan, Lapar Nyonya…
Lapar itu sangat menyakitkan!

Ah, lagi-lagi perut kosong dapat membuat orang melakukan berbagai cara hingga tak jarang membiaskan batas kewajaran, apalagi halal dan haram.

Sunday, October 16, 2011

Being 20's Vs Get Married

di Indonesia, mau di kota besar atau bukan, ketika wanita menginjak usia 20 tahunan, lazim sekali lingkungannya akan mengarahkan pembicaraan, pemikiran, atau sekedar pertanyaan tentang pernikahan.

Lebih lagi jika si wanita ternyata sudah menyelesaikan studi dan mendapat gelar sarjana di awal 20 tahunan. Tanpa paksaan dan tuntutan yang begitu berarti akan pekerjaan dan karir yang matang nan menjulang, para wanita akan mulai diarahkan untuk memikirkan pernikahan, keluarga, anak, dan lain sebagainya. pendek kata adalah keluarga.

ketika si wanita sudah terlalu asyik berkarir, atau mengikuti passion untuk bekerja di perusahaan atau meneruskan study sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi, masyarakat mulai mempertanyakan “bagaimana pendamping hidupnya kelak?” bahkan banyak yang mencibir bahwa ketika karir seorang wanita itu terlalu gemilang atau prestasi akademiknya terlalu baik… maka semakin sulit menemukan pendamping. Tidak lain karena masih banyak pria yang mempertahankan pakem mereka harus lebih tinggi baik dari segi karir ataupun pendidikan dari istri mereka. Aih.. terlalu sempit pandangan seperti ini sebetulnya.

padahal menikah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipikirkan, apalagi di awal 20 tahunan. mengutip seorang teman “married is not only about having a house and lets live together”.