Sekitar sepuluh tahun yang lalu saya yang berseragam putih merah masih sangat merasa asing dengan adanya pelajaran bahasa inggris, itu pun diajarkan di tahun ajaran terakhir sekolah dasar. Sekarang setelah lebih sepuluh tahun berjalan saya menjadi saksi dimana anak-anak bangsa dari umur 3 tahun pun sudah diperkenalkan dengan bahasa asing itu, sama halnya dengan penggunaan teknologi. Jaman itu semua surat berformat sama dengan dua warna –hitam dan putih- yang dicetak dengan ‘mesin berisik’, tapi sekarang sudah berawrna-warni dan “nggak perlu dikirim lewat pos, bisa dikirim lewat kabel” kata ibu saya yang besar di tengah suara mesin berisik itu. Jaman itu juga komputer masih dianggap barang sakti, sekarang? Itu sudah jadi kebutuhan sekolah anak sekolah dasar. Saya beruntung dilahirkan di tempat yang mengalami kemajuan teknologi cukup pesat, menjadi saksi transformasi teknologi dan perkembangan metode berkomunikasi manusia. Saya tidak harus mencari sinyal di pohon asam atau menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk mencari tuan sinyal itu demi berkomunikasi dengan saudara ataupun teman-teman. Semuanya karena perkembangan teknologi. Meski saya jauh prihatin bahwa teknologi informasi dan komunikasi yang saya nikmati dengan leluasa karena tersedia dengan baik di kota saya ini belum dapat dinikmati oleh daerah-daerah terisolir di tanah air. Tapi saya yakin kondisi jaringan telekomunikasi sudah berkembang dan akan terus berkembang ke arah yang lebih baik berkat teman-teman dari Oepoli atau Seliuk.
Berbagai mata kuliah semester awal mengokohkan konsep adanya teknologi yakni untuk memberikan kemudahan bagi aktivitas manusia, termasuk teknologi informasi dan telekomunikasi yang memudahkan manusia berkomunikasi satu sama lain tanpa terhambat jarak dan waktu. Berkomunikasi merupakan bentuk kegiatan manusia untuk menjaga hubungan horizontalnya. Perjalanan waktu membawa kebutuhan untuk berkomunikasi ke tingkat yang lebih tinggi hingga pernah salah seorang teman berkata “pulsa itu sudah jadi kebutuhan pokok, setiap orang yang punya HP (handphone) pasti mau sms atau telepon dan semuanya butuh pulsa, jadi kalau bisnis warung pulsa nggak bakalan rugi. Lebih lagi ya buka usaha telekomunikasi” candanya. Saya pun merasa teknologi yang berkembang pesat itu memberikan banyak kemudahan dan menjadi kebutuhan yang melekat pada tiap-tiap orang sekarang ini.
Dari tas 6kg menjadi HP dalam genggaman
Duduk di bangku SMA saya mengandalkan komputer pemberian Bapak untuk mengerjakan semua tugas, Bapak sendiri masih suka mengambil foto dengan kamera berisi roll film di dalamnya dan masih harus memutar kaset untuk mendengarkan musik. Semuanya dengan perangkat yang berbeda dan format ‘jadul’ -istilah anak muda sekarang. Semakin lama semuanya berubah, bertransformasi ke dalam bentuk sekecil-kecilnya. Awal bangku kuliah saya mulai berkenalan dengan laptop yang membuat komputer pemberian Bapak, kamera ber-roll film dan tape jadul kehilangan perhatian sebelum akhirnya tersingkir. Kebutuhan semakin bergeser, tak hanya ingin mengerjakan tugas atau mendengarkan musik dan berfoto dengan kualitas kamera seadanya mengandalkan laptop itu, tapi menjadi ingin semakin memaksimalkan fungsinya. Kemudian muncullah teman baru yang membuat jam tidur praktis berkurang karena rasa ketertarikan yang amat sangat –internet. Membawa saya menjelajah seluruh dunia dan belajar banyak dalam waktu singkat.
Saat itu saya ingat betul bahwa setiap kali berangkat kuliah atau kemanapun, tak kurang 6kg melekat di punggung. Alhasil, saya sering mendengar pertanyaan tetangga ataupun teman-teman “mau naik gunung neng?”. Semuanya karena saya memang harus membawa laptop, charger-nya sendiri plus fan-nya, ditambah kamera saku yang saya andalkan untuk mengambil gambar karena tak memungkinkan menggunakan kamera laptop, saya juga harus menyertakan peralatan tulis dan kelengkapan kecil lain yang kalau kesemuanya ditimbang mencapai 6kg bahkan bisa lebih. Ya, saya harus memikul 6kg itu sendiri karena mungkin dalam perjalanan saya singgah di tempat-tempat yang menyediakan fasilitas wi-fi. Sekarang, belum sempat saya menyelesaikan penelitian tentang pengaruh peningkatan wi-fi terhadap menurunnya pengunjung warnet, saya sudah punya hipotesis baru bahwa HP menggeser kedudukan laptop atau notebook terlebih warnet. Teknologi itu tidak berkembang hingga puncak, karena sebelum melesat ke dunia wi-fi addict -dimana tempat-tempat penyedia fasilitas tersebut merada di semua pelosok kota dan pemandangan menjinjing laptop sama biasanya dengan membawa buku-buku pelajaran- kita sudah sampai pada suatu masa ketika dunia melesat ke alam audio-visual, virtual, multimedia, dan mobile –dalam genggaman.
Kini, ketika mencoba menengok ke kanan atau ke kiri di tempat-tempat umum, hampir semua orang sudah menggenggam HP canggih -yang tidak hanya memenuhi standar fungsional sebagai media bertelepon atau berkirim pesan saja. Lebih dari itu, menonton TV, berbicara tatap muka, mendengarkan musik, menonton video, mengerjakan tugas kantor, sampai berselancar di internet bisa dilakukan dengan sebuah HP dalam genggaman anda. Melihat dari sisi efisiensi tentu saya juga tidak harus membawa tas 6kg itu kalau kesemua fungsi mulai dari mengambil gambar dengan resolusi tinggi sampai tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan laptop dapat saya kerjakan dengan perangkat dalam genggaman itu. Beberapa waktu kemudian barulah saya mengenal istilah konvergensi untuk hal yang saya alami di atas.
Konvergensi sendiri merupakan kondisi dimana terintegrasinya produk-produk yang terpisah-pisah menjadi satu, atau bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran dimana penyelenggaraan jasa telekomunikasi memungkinkan telekomunikasi terselenggara melalui media apa saja, termasuk TV, radio, dan multimedia. Manfaat yang paling sederhana yang dapat dirasakan tentunya konvergensi meminimalkan bobot perangkat yang harus dibawa oleh orang per orang, lebih lanjut layanan informasi menjadi lebih beragam dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat dimana saja. Selain manfaat paling sederhana tersebut masih ada banyak manfaat dan perubahan dalam kualitas hidup masyarakat yang lain dengan adanya konvergensi IT dan telekomunikasi itu sendiri. Mulai dari semakin banyak rumah-rumah yang terhubung langsung ke internet karena meningkatnya kebutuhan dan perubahan orientasi pergaulan dimana berkembang paradigma “eksis di dunia maya baru keren” di kalangan remaja yang notabene-nya adalah 64% dari total pengguna internet di Indonesia. Kemudian penggunaan media digital yang menggeser kedudukan media konvensional, dimana orang dapat berinteraksi langsung melalui internet dengan biaya yang lebih murah meski terpisah benua. Mereka yang cerdik tentu melihat potensi dibalik mungkinnya orang berkomunikasi dua arah dalam waktu singkat dan biaya murah itu dengan membuat bentuk pelayanan terhadap pelanggan usaha mereka sampai beragam usaha baru yang kemudian dikenal dengan e-commerce. Transaksi-transaksi dagang sudah sangat banyak diselenggarakan dan memungkinkan siapapun membentuk usahanya dengan media itu termasuk saya.
Menjadi Entrepreneur Bermodal HP
Saya bermimpi menjadi seorang entrepreneur demi kebebasan berekspresi dan menjadi pemimpin atas diri sendiri hingga upaya membuka peluang baru bagi masyarakat yang lain. Mimpi itu semakin kuat setelah mendengar pendapat David McClelland yang menyatakan bahwa “sebuah negara akan menjadi negara yang sejahtera dengan memiliki setidaknya 2% entrepreneurs dari total populasi”. Namun, kebanyakan cara pandang mahasiswa yang dulu juga sempat mampir ke benak saya yakni bahwa saya harus bekerja dan mengumpulkan modal cukup sebelum menjadi seorang entrepreneur. Benturan itu juga akhirnya membuat saya berusaha menciptakan suatu media untuk mahasiswa mencari donatur usahanya -bernama entrepreneurship-kiosk. Akan tetapi media itu juga masih memerlukan sosialisasi dan proses hingga semua sistem stabil sebelum menelurkan entrepreneur-entrepreneur kampus. Tak bisa menunggu akhirnya saya memanfaatkan beberapa layanan internet untuk membuka usaha online, hanya bermodal hobi, sedikit pengetahuan tentang internet, laptop dan koneksi internet gratisan dari orangtua.
Mulanya saya membuat sebuah account di facebook untuk menawarkan produk buatan tangan sendiri berupa aksesoris, kemudian mulai memanfaatkan berbagai fitur yang disediakan situs jejaring sosial itu untuk mulai mencari remaja putri sebagai target penjualan untuk dijadikan teman di dalam account itu. Saat ini, saya melihat sudah cukup banyak mahasiswa kreatif yang membuka usaha online memaksimalkan fungsi facebook dan produk yang dijual pun beragam, mulai dari aksesoris kecil hingga sepatu atau tas impor. Saya sendiri tetap berjalan dengan pijakan bahwa saat ini ada 20 juta pengguna internet di Indonesia dan 64% nya adalah remaja, otak saya mulai bekerja dan menghitung jika maksimum jumlah teman yang saya miliki di situs itu adalah 5000 orang dan 20%-nya saja yang membeli produk saya dengan rata-rata harga 20 ribu rupiah, saya sudah akan mendapatkan 20 juta. Saya memang bukan berasal dari kalangan ekonom, jadi saya paham betul bahwa hitung-hitungan itu masih sangat kasar tanpa dipotong biaya operasional hingga mendapatkan laba bersihnya karena memang bukan itu yang saya ingin sampaikan. Saya sekedar mengilustrasikan bahwa pasar ini potensial meski untuk ukuran mahasiswa seperti saya.
Saya menerapkan sistem COD (Cash On Delivery) karena sasaran awalnya adalah pengguna internet di dalam kota, melalui pemesanan via sms ke nomor telepon yang saya cantumkan di account tersebut. Begitulah prosesnya, saya memperkenalkan produk-produk lewat facebook, berinteraksi dengan calon pembeli dengan media yang sama, menerima pesanan via sms, membuat barang sesuai pesanan sebelum diantarkan dan menerima pembayaran saat barang sampai di tangan pembeli. Mulanya memang lancar, tapi lama kelamaan saya mulai kelabakan karena ternyata pasokan internet gratis dari orangtua sering tersendat-sendat seperti pasokan listrik yang suka padam tanpa kompromi. Mulai dari gangguan jaringan di pihap internet service provider, internet yang tidak reliable karena terkoneksi langsung ke server di kantor Bapak yang kebetulan posisinya di dekat rumah –jadi ketika server itu mati maka secara otomatis koneksi internet di rumah pun akan putus. Belum lagi, internet gratisan itu cable oriented karena terhubung ke server lewat jaringan LAN, sehingga saya harus kembali memikul tas 6kg untuk mencari titik-titik hotspot untuk berinteraksi lagi dengan calon pembeli.
Akhirnya setelah mengenal produk yang dilahirkan oleh proses konvergensi IT dan Telekomunikasi berwujud HP, saya memutuskan untuk menggunakannya demi kelancaran pembelajaran menjadi entrepreneur itu. Kini saya masih menggunakan fasilitas facebook sebagai media promosi produk dan komunikasi dengan calon pembeli, namun tak ada lagi ketakutan akan putusnya koneksi internet ketika saya sedang berkomunikasi dengan calon pembeli. Saya pun dapat lebih leluasa melakukan proses itu dimana saja karena tidak terhambat dengan rentangan kabel. Skala usaha saya memang masih kecil dan belum bisa disandingkan dengan entrepreneur-entrepreneur besar yang ada, tapi setidaknya konvergensi IT dan Telekomunikasi itu telah berhasil mewujudkan mimpi saya dan mimpi mahasiswa-mahasiswa di luar sana. Sekarang mulai hitung menghitung, dengan 1,4 juta penganggur terdidik di tahun 2007, jika 10% dari mereka mulai mengasah otak dan membuka usaha online kreatif apa saja bermodalkan HP, ditambah 10% dari total mahasiswa aktif di seluruh Indonesia yang juga membuka usaha online, maka kita dapat membayangkan berapa banyak entrepreneur yang dimiliki Indonesia dan waktu yang diperlukan untuk menjadi bangsa yang sejahtera akan semakin pendek.
Berbagai mata kuliah semester awal mengokohkan konsep adanya teknologi yakni untuk memberikan kemudahan bagi aktivitas manusia, termasuk teknologi informasi dan telekomunikasi yang memudahkan manusia berkomunikasi satu sama lain tanpa terhambat jarak dan waktu. Berkomunikasi merupakan bentuk kegiatan manusia untuk menjaga hubungan horizontalnya. Perjalanan waktu membawa kebutuhan untuk berkomunikasi ke tingkat yang lebih tinggi hingga pernah salah seorang teman berkata “pulsa itu sudah jadi kebutuhan pokok, setiap orang yang punya HP (handphone) pasti mau sms atau telepon dan semuanya butuh pulsa, jadi kalau bisnis warung pulsa nggak bakalan rugi. Lebih lagi ya buka usaha telekomunikasi” candanya. Saya pun merasa teknologi yang berkembang pesat itu memberikan banyak kemudahan dan menjadi kebutuhan yang melekat pada tiap-tiap orang sekarang ini.
Dari tas 6kg menjadi HP dalam genggaman
Duduk di bangku SMA saya mengandalkan komputer pemberian Bapak untuk mengerjakan semua tugas, Bapak sendiri masih suka mengambil foto dengan kamera berisi roll film di dalamnya dan masih harus memutar kaset untuk mendengarkan musik. Semuanya dengan perangkat yang berbeda dan format ‘jadul’ -istilah anak muda sekarang. Semakin lama semuanya berubah, bertransformasi ke dalam bentuk sekecil-kecilnya. Awal bangku kuliah saya mulai berkenalan dengan laptop yang membuat komputer pemberian Bapak, kamera ber-roll film dan tape jadul kehilangan perhatian sebelum akhirnya tersingkir. Kebutuhan semakin bergeser, tak hanya ingin mengerjakan tugas atau mendengarkan musik dan berfoto dengan kualitas kamera seadanya mengandalkan laptop itu, tapi menjadi ingin semakin memaksimalkan fungsinya. Kemudian muncullah teman baru yang membuat jam tidur praktis berkurang karena rasa ketertarikan yang amat sangat –internet. Membawa saya menjelajah seluruh dunia dan belajar banyak dalam waktu singkat.
Saat itu saya ingat betul bahwa setiap kali berangkat kuliah atau kemanapun, tak kurang 6kg melekat di punggung. Alhasil, saya sering mendengar pertanyaan tetangga ataupun teman-teman “mau naik gunung neng?”. Semuanya karena saya memang harus membawa laptop, charger-nya sendiri plus fan-nya, ditambah kamera saku yang saya andalkan untuk mengambil gambar karena tak memungkinkan menggunakan kamera laptop, saya juga harus menyertakan peralatan tulis dan kelengkapan kecil lain yang kalau kesemuanya ditimbang mencapai 6kg bahkan bisa lebih. Ya, saya harus memikul 6kg itu sendiri karena mungkin dalam perjalanan saya singgah di tempat-tempat yang menyediakan fasilitas wi-fi. Sekarang, belum sempat saya menyelesaikan penelitian tentang pengaruh peningkatan wi-fi terhadap menurunnya pengunjung warnet, saya sudah punya hipotesis baru bahwa HP menggeser kedudukan laptop atau notebook terlebih warnet. Teknologi itu tidak berkembang hingga puncak, karena sebelum melesat ke dunia wi-fi addict -dimana tempat-tempat penyedia fasilitas tersebut merada di semua pelosok kota dan pemandangan menjinjing laptop sama biasanya dengan membawa buku-buku pelajaran- kita sudah sampai pada suatu masa ketika dunia melesat ke alam audio-visual, virtual, multimedia, dan mobile –dalam genggaman.
Kini, ketika mencoba menengok ke kanan atau ke kiri di tempat-tempat umum, hampir semua orang sudah menggenggam HP canggih -yang tidak hanya memenuhi standar fungsional sebagai media bertelepon atau berkirim pesan saja. Lebih dari itu, menonton TV, berbicara tatap muka, mendengarkan musik, menonton video, mengerjakan tugas kantor, sampai berselancar di internet bisa dilakukan dengan sebuah HP dalam genggaman anda. Melihat dari sisi efisiensi tentu saya juga tidak harus membawa tas 6kg itu kalau kesemua fungsi mulai dari mengambil gambar dengan resolusi tinggi sampai tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan laptop dapat saya kerjakan dengan perangkat dalam genggaman itu. Beberapa waktu kemudian barulah saya mengenal istilah konvergensi untuk hal yang saya alami di atas.
Konvergensi sendiri merupakan kondisi dimana terintegrasinya produk-produk yang terpisah-pisah menjadi satu, atau bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran dimana penyelenggaraan jasa telekomunikasi memungkinkan telekomunikasi terselenggara melalui media apa saja, termasuk TV, radio, dan multimedia. Manfaat yang paling sederhana yang dapat dirasakan tentunya konvergensi meminimalkan bobot perangkat yang harus dibawa oleh orang per orang, lebih lanjut layanan informasi menjadi lebih beragam dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat dimana saja. Selain manfaat paling sederhana tersebut masih ada banyak manfaat dan perubahan dalam kualitas hidup masyarakat yang lain dengan adanya konvergensi IT dan telekomunikasi itu sendiri. Mulai dari semakin banyak rumah-rumah yang terhubung langsung ke internet karena meningkatnya kebutuhan dan perubahan orientasi pergaulan dimana berkembang paradigma “eksis di dunia maya baru keren” di kalangan remaja yang notabene-nya adalah 64% dari total pengguna internet di Indonesia. Kemudian penggunaan media digital yang menggeser kedudukan media konvensional, dimana orang dapat berinteraksi langsung melalui internet dengan biaya yang lebih murah meski terpisah benua. Mereka yang cerdik tentu melihat potensi dibalik mungkinnya orang berkomunikasi dua arah dalam waktu singkat dan biaya murah itu dengan membuat bentuk pelayanan terhadap pelanggan usaha mereka sampai beragam usaha baru yang kemudian dikenal dengan e-commerce. Transaksi-transaksi dagang sudah sangat banyak diselenggarakan dan memungkinkan siapapun membentuk usahanya dengan media itu termasuk saya.
Menjadi Entrepreneur Bermodal HP
Saya bermimpi menjadi seorang entrepreneur demi kebebasan berekspresi dan menjadi pemimpin atas diri sendiri hingga upaya membuka peluang baru bagi masyarakat yang lain. Mimpi itu semakin kuat setelah mendengar pendapat David McClelland yang menyatakan bahwa “sebuah negara akan menjadi negara yang sejahtera dengan memiliki setidaknya 2% entrepreneurs dari total populasi”. Namun, kebanyakan cara pandang mahasiswa yang dulu juga sempat mampir ke benak saya yakni bahwa saya harus bekerja dan mengumpulkan modal cukup sebelum menjadi seorang entrepreneur. Benturan itu juga akhirnya membuat saya berusaha menciptakan suatu media untuk mahasiswa mencari donatur usahanya -bernama entrepreneurship-kiosk. Akan tetapi media itu juga masih memerlukan sosialisasi dan proses hingga semua sistem stabil sebelum menelurkan entrepreneur-entrepreneur kampus. Tak bisa menunggu akhirnya saya memanfaatkan beberapa layanan internet untuk membuka usaha online, hanya bermodal hobi, sedikit pengetahuan tentang internet, laptop dan koneksi internet gratisan dari orangtua.
Mulanya saya membuat sebuah account di facebook untuk menawarkan produk buatan tangan sendiri berupa aksesoris, kemudian mulai memanfaatkan berbagai fitur yang disediakan situs jejaring sosial itu untuk mulai mencari remaja putri sebagai target penjualan untuk dijadikan teman di dalam account itu. Saat ini, saya melihat sudah cukup banyak mahasiswa kreatif yang membuka usaha online memaksimalkan fungsi facebook dan produk yang dijual pun beragam, mulai dari aksesoris kecil hingga sepatu atau tas impor. Saya sendiri tetap berjalan dengan pijakan bahwa saat ini ada 20 juta pengguna internet di Indonesia dan 64% nya adalah remaja, otak saya mulai bekerja dan menghitung jika maksimum jumlah teman yang saya miliki di situs itu adalah 5000 orang dan 20%-nya saja yang membeli produk saya dengan rata-rata harga 20 ribu rupiah, saya sudah akan mendapatkan 20 juta. Saya memang bukan berasal dari kalangan ekonom, jadi saya paham betul bahwa hitung-hitungan itu masih sangat kasar tanpa dipotong biaya operasional hingga mendapatkan laba bersihnya karena memang bukan itu yang saya ingin sampaikan. Saya sekedar mengilustrasikan bahwa pasar ini potensial meski untuk ukuran mahasiswa seperti saya.
Saya menerapkan sistem COD (Cash On Delivery) karena sasaran awalnya adalah pengguna internet di dalam kota, melalui pemesanan via sms ke nomor telepon yang saya cantumkan di account tersebut. Begitulah prosesnya, saya memperkenalkan produk-produk lewat facebook, berinteraksi dengan calon pembeli dengan media yang sama, menerima pesanan via sms, membuat barang sesuai pesanan sebelum diantarkan dan menerima pembayaran saat barang sampai di tangan pembeli. Mulanya memang lancar, tapi lama kelamaan saya mulai kelabakan karena ternyata pasokan internet gratis dari orangtua sering tersendat-sendat seperti pasokan listrik yang suka padam tanpa kompromi. Mulai dari gangguan jaringan di pihap internet service provider, internet yang tidak reliable karena terkoneksi langsung ke server di kantor Bapak yang kebetulan posisinya di dekat rumah –jadi ketika server itu mati maka secara otomatis koneksi internet di rumah pun akan putus. Belum lagi, internet gratisan itu cable oriented karena terhubung ke server lewat jaringan LAN, sehingga saya harus kembali memikul tas 6kg untuk mencari titik-titik hotspot untuk berinteraksi lagi dengan calon pembeli.
Akhirnya setelah mengenal produk yang dilahirkan oleh proses konvergensi IT dan Telekomunikasi berwujud HP, saya memutuskan untuk menggunakannya demi kelancaran pembelajaran menjadi entrepreneur itu. Kini saya masih menggunakan fasilitas facebook sebagai media promosi produk dan komunikasi dengan calon pembeli, namun tak ada lagi ketakutan akan putusnya koneksi internet ketika saya sedang berkomunikasi dengan calon pembeli. Saya pun dapat lebih leluasa melakukan proses itu dimana saja karena tidak terhambat dengan rentangan kabel. Skala usaha saya memang masih kecil dan belum bisa disandingkan dengan entrepreneur-entrepreneur besar yang ada, tapi setidaknya konvergensi IT dan Telekomunikasi itu telah berhasil mewujudkan mimpi saya dan mimpi mahasiswa-mahasiswa di luar sana. Sekarang mulai hitung menghitung, dengan 1,4 juta penganggur terdidik di tahun 2007, jika 10% dari mereka mulai mengasah otak dan membuka usaha online kreatif apa saja bermodalkan HP, ditambah 10% dari total mahasiswa aktif di seluruh Indonesia yang juga membuka usaha online, maka kita dapat membayangkan berapa banyak entrepreneur yang dimiliki Indonesia dan waktu yang diperlukan untuk menjadi bangsa yang sejahtera akan semakin pendek.
No comments:
Post a Comment