Dunia bukan dunia jika semua satu warna, dan tak ada aku, kamu, atau mereka.
**jeda**
Waktu yang cukup lama dengan pikiran yang disesaki berbagai keberagaman ketika mencari sedikit saja cela keseragaman.
Sulit sekali membayangkan hidup tanpa keberagaman. Ketika semuanya hanya satu warna atau homogen jika merunut bahasa ilmiahnya.
Sipit, bulat, hitam, putih, keriting, lurus, tinggi, pendek, dan semua keberagaman yang sering terabaikan itu sangat berarti membuat manusia menjadi manusia yang hidup dalam dunia yang sebenarnya. Luangkan waktu sejenak untuk sekedar membayangkan bahwa semua manusia mempunyai ciri fisik hingga sifat yang sama, berkulit putih, tinggi, berambut lurus, dan mempunyai bentuk hingga lekuk tubuh yang sama satu dengan lainnya. Semuanya seperti kumpulan manusia cloning yang tidak akan mengenal kata iri dengan bentuk/ lekuk tubuh manusia lain karena apa yang mereka miliki persis sama dengan yang lain. Maka, kita tak akan pernah mengenal kata keriting, hitam, hingga istilah langsing karena faktanya dalam keseragaman semua hanya satu modelnya, satu bentuknya dan semua persis sama. Entah bagaimana cara berkomunikasi di tengah masyarakat yang persis sama satu dan yang lain, karena nama manusia sendiri tercipta karena adanya perbedaan ciri fisik yang menggambarkan sosok sang empunya nama.
Dunia tanpa bhineka, dunia tanpa keberagaman. Ketika semua manusia hanya mengenal satu bahasa… maka tak akan ada pertengkaran antara kelompok orang berbeda asal yang mengalami miskomunikasi karena bahasa yang beranekaragam. Tapi, jika manusia hanya mengenal satu bahasa, maka tak akan ada usaha manusia untuk belajar mengerti bahasa masyarakat dari belahan dunia lain karena keinginan berkomunikasi dan bertukar informasi. Manusia hanya perlu membawa satu kamus besar bahasa saja kalau begitu, dan hidup dalam keterbatasan kosa kata. Tak akan pernah ada materi bahasa serapan dalam pelajaran bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia sendiri mungkin tidak akan pernah dikenal dalam dunia tanpa keberagaman bahasa.
Ketika semua manusia terlahir berkulit putih, maka takkan ada cerita perjuangan bangsa kulit hitam untuk menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sama dengan bangsa kulit putih. Takkan ada presiden kulit hitam pertama di tengah masyarakat kulit putih, dan sejarah suatu bangsa tidak akan begitu melibatkan perasaan ketika akhirnya suatu perjuangan menemui titik terang. Jika semua manusia berambut lurus maka takkan ada inovasi alat pelurus rambut yang membuat jutaan wanita rela antri di salon-salon kecantikan demi meluruskan rambutnya dengan alat itu. Jika semua manusia terlahir persis sama dalam dunia tanpa bhineka, hingga semua bentuk daun hanyalah satu rupanya… maka dunia yang seperti itu bukanlah dunia yang sesungguhnya dan membayangkan hidup tanpa keberagaman mengarahkan diri pada jutaan kemungkinan yang membosankan, mengerikan, bahkan tak terbayangkan.
Ya, dunia tanpa bhineka, dunia tanpa keberagaman bukanlah dunia. Manusia tanpa keberagaman tidak akan pernah dikenal sebagai manusia. Bahkan matahari yang membantu melihat keberagaman dengan menebarkan keberagaman itu sendiri lewat MEJIKUHIBINIUnya, pun takkan ada Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika tanpa bhineka itu sendiri.
**jeda**
Waktu yang cukup lama dengan pikiran yang disesaki berbagai keberagaman ketika mencari sedikit saja cela keseragaman.
Sulit sekali membayangkan hidup tanpa keberagaman. Ketika semuanya hanya satu warna atau homogen jika merunut bahasa ilmiahnya.
Sipit, bulat, hitam, putih, keriting, lurus, tinggi, pendek, dan semua keberagaman yang sering terabaikan itu sangat berarti membuat manusia menjadi manusia yang hidup dalam dunia yang sebenarnya. Luangkan waktu sejenak untuk sekedar membayangkan bahwa semua manusia mempunyai ciri fisik hingga sifat yang sama, berkulit putih, tinggi, berambut lurus, dan mempunyai bentuk hingga lekuk tubuh yang sama satu dengan lainnya. Semuanya seperti kumpulan manusia cloning yang tidak akan mengenal kata iri dengan bentuk/ lekuk tubuh manusia lain karena apa yang mereka miliki persis sama dengan yang lain. Maka, kita tak akan pernah mengenal kata keriting, hitam, hingga istilah langsing karena faktanya dalam keseragaman semua hanya satu modelnya, satu bentuknya dan semua persis sama. Entah bagaimana cara berkomunikasi di tengah masyarakat yang persis sama satu dan yang lain, karena nama manusia sendiri tercipta karena adanya perbedaan ciri fisik yang menggambarkan sosok sang empunya nama.
Dunia tanpa bhineka, dunia tanpa keberagaman. Ketika semua manusia hanya mengenal satu bahasa… maka tak akan ada pertengkaran antara kelompok orang berbeda asal yang mengalami miskomunikasi karena bahasa yang beranekaragam. Tapi, jika manusia hanya mengenal satu bahasa, maka tak akan ada usaha manusia untuk belajar mengerti bahasa masyarakat dari belahan dunia lain karena keinginan berkomunikasi dan bertukar informasi. Manusia hanya perlu membawa satu kamus besar bahasa saja kalau begitu, dan hidup dalam keterbatasan kosa kata. Tak akan pernah ada materi bahasa serapan dalam pelajaran bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia sendiri mungkin tidak akan pernah dikenal dalam dunia tanpa keberagaman bahasa.
Ketika semua manusia terlahir berkulit putih, maka takkan ada cerita perjuangan bangsa kulit hitam untuk menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sama dengan bangsa kulit putih. Takkan ada presiden kulit hitam pertama di tengah masyarakat kulit putih, dan sejarah suatu bangsa tidak akan begitu melibatkan perasaan ketika akhirnya suatu perjuangan menemui titik terang. Jika semua manusia berambut lurus maka takkan ada inovasi alat pelurus rambut yang membuat jutaan wanita rela antri di salon-salon kecantikan demi meluruskan rambutnya dengan alat itu. Jika semua manusia terlahir persis sama dalam dunia tanpa bhineka, hingga semua bentuk daun hanyalah satu rupanya… maka dunia yang seperti itu bukanlah dunia yang sesungguhnya dan membayangkan hidup tanpa keberagaman mengarahkan diri pada jutaan kemungkinan yang membosankan, mengerikan, bahkan tak terbayangkan.
Ya, dunia tanpa bhineka, dunia tanpa keberagaman bukanlah dunia. Manusia tanpa keberagaman tidak akan pernah dikenal sebagai manusia. Bahkan matahari yang membantu melihat keberagaman dengan menebarkan keberagaman itu sendiri lewat MEJIKUHIBINIUnya, pun takkan ada Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika tanpa bhineka itu sendiri.
No comments:
Post a Comment