Monday, May 11, 2009

berhenti pada kata menanti

Oleh. rere.nEnggeLo

"Semua orang menyimak
tenggelam dalam syahdunya doa
semua bersyukur,
atas karunia yang tak terukur
America to America

Dapatkah bangsaku demikian?
Diam dalam doa
Hanyut dalam perenungan
Menghargai orang lain, mereka yang bicara

Belum,
Belum dapat,
selama mantra-mantri itu
masih ditegur presiden di tengah rapat
selama pejabat-penjahat itu
masih tenggelam dalam kantuk
setelah dalu memainkan kartu

Wahai Indonesiaku...
Kapan penantian sampai di gawang harapan?"


Sebetulnya, kata-kata itu menyeruak keluar setelah menyaksikan acara pelantikan presiden AS ke-44 beberapa waktu lalu, tapi goresan tintanya termangu diantara lembaran kertas buku harianku saja. Hingga akhirnya terpaksa tampil karena aku begitu jengah melihat layar kacaku yang mendadak homogen di semua salurannya. Terkesan seperti dieksploitasi masal oleh semua pihak yang berkepentingan dan memiliki daya untuk mengeksploitasinya. Begitu out of control, sehingga kata-kata yang terlontar dari berbagai pihak sudah tidak layak tampil mengingat citra yang ditampilkan masing-masing pihak tersebut selama ini. Kharismatik, sabar, bijaksana, berwibawa dan intelek, rasanya semua menguap sia-sia di balik ambisi yang mendominasi.
Ricuh penolakan hasil pemilu legislatif, isu pemilu yang diulang sampai isu memboikot pemilu presiden juga tenggelam begitu saja karena semuanya hanya bisa mendapatkan apa yang dikehendaki melalui satu pintu yang sama, jadi mau tidak mau ya harus menyamakan titik start-nya. Akan tetapi, dari kacamata seorang rakyat alangkah kurang etisnya jika persaingan itu begitu terbuka di hadapan publik dengan metode persaingan yang demikian tak terkendalinya. Semua tahu bahwa pemilu adalah bentuk kompetisi yang sejatinya mempertandingkan manusia-manusia kompeten yang pantas bersaing satu sama lain dengan metode-metode yang sarat akan intelektualitas, dan pasti ada pemenang dari proses tersebut. Sisi lainnya tentu memperlihatkan kekurangberuntungan pihak yang kalah. Namun, semuanya tak tergambar saat ini, yang ada hanyalah ambisi kemenangan yang meluap-luap di balik visi misi membangun bangsa. Lantas kepada siapa rakyat harus percaya dan mempercayakan harapan-harapannya akan bangsa ini? Akan jadi apa negara yang berdiri tanpa kepercayaan rakyatnya?