Wednesday, November 10, 2010

Konsep Kepahlawanan dan Upacara Hari Pahlawan

Untuk seorang aku, guru adalah pahlawan, meski mereka dekat dengan label 'pahlawan tanpa tanda jasa'... gelar kehormatan itu mengingatkanku pada potongan percakapan di sebuah swalayan beberapa waktu lalu -antara seorang teman dan guru semasa sekolahnya- "ya, Ibu akan selalu begini, ketika semua murid Ibu sudah jadi pengusaha, pegawai bank, bahkan menteri sekalipun... Ibu akan tetap begini, jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Namanya juga pahlawan tanpa tanda jasa ya begini-begini saja, tapi itu (pahlawan tanpa tanda jasa_red) kan nggak bisa dipake buat makan jaman sekarang ini". Miris, tapi itulah kenyataannya. Guru tidak punya jatah khusus untuk mendapat tempat tinggal abadi khusus seperti pahlawan-pahlawan nasional, mereka juga tidak punya seragam khusus yang ditempel dan digantungi berbagai lambang jasa, jenjang karirnya tak secepat pekerja lain, dan hasil dari kerja kerasnya hanyalah untuk menyambung hidup dan kebanggaan melihat murid-muridnya berhasil dalam hidup. Maka dari itu, jadilah guru sebagai pahlawan bagi seorang aku.

Konsep Kepahlawanan

Seorang murid sekolah dasar yang ditanya tentang siapa sosok pahlawan baginya mungkin akan menjawab Pak Polisi atau Pak Dokter yang pernah membantu mereka, atau ketikalebih dewasa berkata bahwa Ayah dan Ibunya lah yang menjadi sosok pahlawan bagi mereka. Melihat apa yang dilakukan seseorang, perjuangan dan efek yang terjadi terhadap diri mereka hingga akhirnya berhasil menyimpulkan siapa yang pantar menjadi sosok pahlawan bagi mereka. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani [1]. Sementara Gelar Pahlawan Nasional Indonesia diberikan kepada mereka yang berjasa kepada Negara Republik Indonesia dan mereka yang berjuang dalam proses untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia [2]. Ada konsep yang sangat fleksibel, tak memiliki jumlah kriteria pasti dan dapat berubah sewaktu-waktu -artinya gelar dapat hilang kapan saja- dalam konsep kepahlawanan secara individual atau kelompok tertentu. Namun, untuk sosok pahlawan nasional telah baku ketetapan dan kriterianya, ada tata cara penetapan, pembinaan terhadap pahlawan, dan pemberian penghargaan terhadap pahlawan [3].
Untuk menetapkan sosok pahlawan per individu maka kita tidak diwajibkan menganalisa kriteria calon pahlawan kita, tidak perlu mendapat persetujuan pihak-pihak terkait dan tidak perlu menunggu penetapan resmi yang melalui proses yang panjang. Berbeda halnya dengan menetapkan sosok pahlawan nasional, maka semua masyarakat dari suatu negara haruslah berembuk dan melalui proses analisis yang benar dan mencapai mufakat dalam menetapkan seseorang sebagai pahlawan nasional. Mengorganisir dan menyeleraskan pendapat dari beberapa kepala tentulah tidak akan semudah memutuskan secara individual, maka prosesnya tentulah akan diwarnai pro dan kontra. Jadi tentang kontradiksi itu hal yang lumrah terjadi dalam proses memutuskan sesuatu yang harus disepakati oleh banyak pihak.

Tak ada lagi upacara hari pahlawan

Entah diundur ke hari lain atau terlewatkan karena ada 'peristiwa yang lebih penting dari sekedar seremonial' atau karena alasan lainnya... maka tak terdengar gaum peringatan hari pahlawan tepat 10 November 2010. Bertanya kepada salah satu murid saya yang duduk di sekolah dasar, dia menjawab tak ada upacara peringatan hari besar nasional apa pun di sekolahnya... bahkan dia pun tak tahu menahu tentang hari besar nasional yang jatuh pada hari ini. lagi-lagi sosialisasi nilai sejarah tak menjangkau generasi sekarang. Bukan seremonial, bukan sekedar peringatan, dan bukan sekedar bentuk keramaian tertentu yang ingin aku lihat, tapi bentuk evaluasi diri dan penghargaan terhadap pahlawan seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat era ini dan generasi-generasi yang baru terlahir. Maka nyatalah bahwa tak ada lagi upacara hari pahlawan atau pun kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menanamkan dan memperkuat rasa kepahlawanan dalam tiap generasi sekarang ini.
[1] Kamus Besar Bahasa Indoensia
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pahlawan_nasional_Indonesia
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pahlawan_nasional_Indonesia

Sunday, November 7, 2010

Pekerja dan Mempekerjakan

Bekerja, berlabel pekerja, untuk orang lain... melakukan tugas yang disesuaikan dengan job desc tertentu sejalan dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pihak-pihak yang mempekerjakan kita. Sementara keinginan terbesar seorang aku adalah berada di posisi dapat, mampu, dan sanggup mempekerjakan orang lain, mengatur dan menetapkan peraturan sendiri, menganalisa, mengatasi masalah atas hasil analisa sendiri hingga menanggung resiko atau efek dari keputusan yang telah diambil. Namun lingkungan sosial, masyarakat yang menetapkan aturan-aturan, pandangan, tingkatan dalam hubungannya sesama manusia [terutama di Indonesia] sebagian besar masih terus berkutat pada pola pikir 'mahasiswa harus bekerja setelah menyelesaikan studinya di universitas'... menjadi karyawan di BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau perusahaan-perusahaan ternama hingga menjadi pegawai pemerintahan adalah sesuatu yang wah dan secara otomatis meningkatkan kedudukan seseorang di tengah-tengah masyarakat -paling tidak di lingkungannya.
Job fair yang digelar di berbagai kota tak pernah sepi pengunjung, persis seperti konser musik atau audisi ajang pencarian bakat yang berjubel-jubel. Jangankan alumni universitas di luar pulau Jawa, mereka yang notabenenya alumni lulusan ternama di negeri pertiwi ini rela berbaur dengan alumni dari berbagai universitas yang lain dan membawa segala macam dokumen pencitraan diri yang kiranya dapat membuat perusahaan-perusaahan peserta job fair sudi melirik dan menjadikan mereka bagian dari perusahan tersebut. Tak jarang mereka pun harus berjuang hingga ke luar pulau Jawa dan bersaing dengan penduduk lokal, menjadi cibiran dan objek rasa iri para penduduk lokal yang tidak mau lahannya diambil oleh penduduk pendatang. Namun apa daya, itulah adanya di negeri ini, ketika merantau adalah jalan satu-satunya yang harus dipilih dan dijalani ketika lahan di rumah sendiri tak jua mencukupi. Pekerja dan mempekerjakan... kapan kata itu akan berganti posisi... dari yang mendominasi menjadi tak dominan dan mempekerjakan menjadi identitas bangsa.