Monday, December 5, 2011

Kuliah Malam

Palembang, pukul 20:41,
Di luar hujan, atau mungkin sudah reda. Yang jelas pantulan lampu memancar jelas dari jalanan yang basah. Mahasiswa di kelas ini sedang mengerjakan tugas. Berkutat dengan logika sendiri untuk mengerjakan soal. Saya? saya menanti, beranjak dari tempat duduk dengan periode waktu yang acak untuk melihat lebih dekat dari sisi mereka, meski sebetulnya di komputer saya semua pun bisa terlihat jelas. Perangkat lunak yang terinstall di komputer saya sama seperti CCTV untuk masing-masing siswa. itu salah satu kontribusi besar teknologi untuk dunia pendidikan. Dosen dimungkinkan memantau aktivitas mahasiswa dengan komputernya.
Palembang, pukul 20:45
saya masih duduk manis menunggui mahasiswa saya mengerjakan tugas. mata kuliah olah logika ini cukup membuat saya rebutan oksigen dengan mereka, karena fungsi otak mereka bekerja lebih keras dari sebelumnya dan memerlukan suplai energi lebih banyak. mereka mahasiswa tangguh. para pekerja di siang hari yang mengatur energi dan pikiran untuk mencari pengetahuan di bangku kuliah.
mereka mahasiswa tangguh. mengatur emosi dan tenaga untuk menyerap ilmu dan mengerjakan setumpuk tugas dari dosen, di tengah tugas-tugas kantor di bawah Deadline. terbayang wajah atasan yang menanti tugas selesai sambil juga memikirkan bagaimana bisa menyelesaikan berbagai tugas kuliah. meski segelintir masih juga ada mahasiswa non-pekerja yang menganonimkan diri di tengah para mahasiswa-pekerja ini.
dulu saya menempuh pendidikan normal, kuliah di siang sampai sore hari, meski sorenya saya mempunyai jadwal private atau kursus, tapi saya tahu bahwa saya tidak akan bisa maksimal untuk bekerja di siang hari dan kuliah di malam hari. jadwal kuliah malam di tempat saya bekerja sebelumnya adalah pukul 5 sore hingga 8:30 malam. namun, di tempat saya mengajar sekarang, jadwalnya sedikit lebih tidak manusiawi, pukul 6:30 - 9:30 malam.
saya bukan mengeluh, untuk saya itu adalah pilihan dan tanggung jawab yang harus dijalani. tapi kembali lagi, bahwa semua mahasiswa saya hanyalah manusia biasa, sama dengan saya. saya merasa bahwa waktu perkuliahan tidak efektif. meski mereka punya energi yang cukup, tapi waktu 3 jam dengan break 15-20 menit untuk satu mata kuliah yang bobotnya 4 sks, akan menghasilkan output yang tidak optimal. pertama, energi mahasiswa pekerja tentu tidak maksimal. setelah 8 jam dihabiskan di kantor dan berjibaku dengan kemacetan lalu lintas mengejar kelas, tentu secara fisik mereka akan kelelahan. ditambah, permasalahan-permasalahan yang mungkin mereka hadapi di kantor. semuanya mencoba menyusup dan mencari ruang di dalam pikiran mereka. kedua, harus diperhitungkan berapa lama waktu maksimal seseorang untuk bisa fokus menyerap pengetahuan dengan energi sisa bekerja. bisa bertahan selama satu setengah jam dan menerima kemudian mengerti materi? itu sungguh luar biasa. ketiga, kewajiban diberikannya tugas kelas dan tugas rumah kepada mahasiswa, kadang (atau bahkan sering) membuat mahasiswa menilai dosen tidak manusiawi, sementara di sisi lain dosen yang bersangkutan harus berhadapan dengan kurikulum dan peraturan yang ditetapkan institusi.
saya menghindari subjektivitas dalam penilaian, berusaha menegakkan objektivitas untuk semua. kondisi mereka adalah pekerja memang tidak seharusnya mempengaruhi penilaian akhir saya terhadap mereka. saya tidak boleh menimbulkan kecemburuan sosial mahasiswa siang dari royalnya saya memberikan nilai terhadap mahasiswa malam. tapi tentu saja, bagi saya mahasiswa pekerja itu luar biasa. :) tugas saya sekarang adalah menyampaikan pengetahuan secara maksimal dan terus mencari cara bagaimana mereka bisa menyerap pengetahuan secara optimal. happy teaching.

Monday, October 17, 2011

Seribu Dua ribu ala Penyair Jalanan

Tidak tahu pastinya kapan mereka mulai berbaur menjadi satu di jalanan, di dalam bus-bus sejuta pengharapan tepatnya. Ini kali kedua saya berada di situasi yang cukup menegangkan.

Lapar…

Lapar Tuan, Lapar Nyonya…
Lapar itu sangat menyakitkan!

lelaki itu berteriak kencang membacakan syair yang lebih tepat dikatakan umpatan, cacian, atau makian terhadap keadaan. dari caranya berteriak, dia cukup kuat untuk menjadi kuli angkut atau kuli bangunan daripada di bus kota.

Tentu saja mereka tidak bersenandung, melantunkan lagu-lagu melayu seperti lazimnya pengamen simpang empat atau membawakan indo pop yang digandrungi remaja saat ini.

saya merogoh kantong dengan hati-hati, mencoba menemukan pecahan kecil rupiah. dalam hati memang ingin memberi, tapi yang terjadi? kamu justru akan membaca lebih banyak takut dari bahasa tubuh saya. Betapa tidak…

daripada kami mencopet,
merampok harta Anda,
lebih baik kami membaca puisi
seribu dua ribu tidak ada artinya bagi tuan dan nyonya!

ada unsur pemaksaan, penekanan, dan bumbu ancaman. Kontan saja penumpang lain langsung merapatkan barang bawaannya. Khawatir kalau-kalau para penyair jalanan itu kalap atau gelap mata.

Entah kapan mereka mulai menjadi penghuni baru komplek simpang empat, berdampingan dan bertetangga dengan pengemis, pengamen, preman, dan mereka yang menjadikan jalanan sebagai tempat tinggalnya.

Aih, andai saja mereka tahu betapa berartinya seribu dua ribu itu.
andai mereka tahu betapa susah dan bersabarnya pedagang kecil di sudut pasar, bersimbah peluh menunggu pembeli hanya untuk seribu dua ribu.

betapa mereka yang tak sempurna fisiknya menaruh harap akan fisik yang sempurna seperti mereka punya.
betapa banyak dari mereka yang tak sempurna fisiknya mengharamkan dirinya dari meminta-minta.

Lapar…

Lapar Tuan, Lapar Nyonya…
Lapar itu sangat menyakitkan!

Ah, lagi-lagi perut kosong dapat membuat orang melakukan berbagai cara hingga tak jarang membiaskan batas kewajaran, apalagi halal dan haram.

Sunday, October 16, 2011

Being 20's Vs Get Married

di Indonesia, mau di kota besar atau bukan, ketika wanita menginjak usia 20 tahunan, lazim sekali lingkungannya akan mengarahkan pembicaraan, pemikiran, atau sekedar pertanyaan tentang pernikahan.

Lebih lagi jika si wanita ternyata sudah menyelesaikan studi dan mendapat gelar sarjana di awal 20 tahunan. Tanpa paksaan dan tuntutan yang begitu berarti akan pekerjaan dan karir yang matang nan menjulang, para wanita akan mulai diarahkan untuk memikirkan pernikahan, keluarga, anak, dan lain sebagainya. pendek kata adalah keluarga.

ketika si wanita sudah terlalu asyik berkarir, atau mengikuti passion untuk bekerja di perusahaan atau meneruskan study sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi, masyarakat mulai mempertanyakan “bagaimana pendamping hidupnya kelak?” bahkan banyak yang mencibir bahwa ketika karir seorang wanita itu terlalu gemilang atau prestasi akademiknya terlalu baik… maka semakin sulit menemukan pendamping. Tidak lain karena masih banyak pria yang mempertahankan pakem mereka harus lebih tinggi baik dari segi karir ataupun pendidikan dari istri mereka. Aih.. terlalu sempit pandangan seperti ini sebetulnya.

padahal menikah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipikirkan, apalagi di awal 20 tahunan. mengutip seorang teman “married is not only about having a house and lets live together”.