Wednesday, November 10, 2010

Konsep Kepahlawanan dan Upacara Hari Pahlawan

Untuk seorang aku, guru adalah pahlawan, meski mereka dekat dengan label 'pahlawan tanpa tanda jasa'... gelar kehormatan itu mengingatkanku pada potongan percakapan di sebuah swalayan beberapa waktu lalu -antara seorang teman dan guru semasa sekolahnya- "ya, Ibu akan selalu begini, ketika semua murid Ibu sudah jadi pengusaha, pegawai bank, bahkan menteri sekalipun... Ibu akan tetap begini, jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Namanya juga pahlawan tanpa tanda jasa ya begini-begini saja, tapi itu (pahlawan tanpa tanda jasa_red) kan nggak bisa dipake buat makan jaman sekarang ini". Miris, tapi itulah kenyataannya. Guru tidak punya jatah khusus untuk mendapat tempat tinggal abadi khusus seperti pahlawan-pahlawan nasional, mereka juga tidak punya seragam khusus yang ditempel dan digantungi berbagai lambang jasa, jenjang karirnya tak secepat pekerja lain, dan hasil dari kerja kerasnya hanyalah untuk menyambung hidup dan kebanggaan melihat murid-muridnya berhasil dalam hidup. Maka dari itu, jadilah guru sebagai pahlawan bagi seorang aku.

Konsep Kepahlawanan

Seorang murid sekolah dasar yang ditanya tentang siapa sosok pahlawan baginya mungkin akan menjawab Pak Polisi atau Pak Dokter yang pernah membantu mereka, atau ketikalebih dewasa berkata bahwa Ayah dan Ibunya lah yang menjadi sosok pahlawan bagi mereka. Melihat apa yang dilakukan seseorang, perjuangan dan efek yang terjadi terhadap diri mereka hingga akhirnya berhasil menyimpulkan siapa yang pantar menjadi sosok pahlawan bagi mereka. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani [1]. Sementara Gelar Pahlawan Nasional Indonesia diberikan kepada mereka yang berjasa kepada Negara Republik Indonesia dan mereka yang berjuang dalam proses untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia [2]. Ada konsep yang sangat fleksibel, tak memiliki jumlah kriteria pasti dan dapat berubah sewaktu-waktu -artinya gelar dapat hilang kapan saja- dalam konsep kepahlawanan secara individual atau kelompok tertentu. Namun, untuk sosok pahlawan nasional telah baku ketetapan dan kriterianya, ada tata cara penetapan, pembinaan terhadap pahlawan, dan pemberian penghargaan terhadap pahlawan [3].
Untuk menetapkan sosok pahlawan per individu maka kita tidak diwajibkan menganalisa kriteria calon pahlawan kita, tidak perlu mendapat persetujuan pihak-pihak terkait dan tidak perlu menunggu penetapan resmi yang melalui proses yang panjang. Berbeda halnya dengan menetapkan sosok pahlawan nasional, maka semua masyarakat dari suatu negara haruslah berembuk dan melalui proses analisis yang benar dan mencapai mufakat dalam menetapkan seseorang sebagai pahlawan nasional. Mengorganisir dan menyeleraskan pendapat dari beberapa kepala tentulah tidak akan semudah memutuskan secara individual, maka prosesnya tentulah akan diwarnai pro dan kontra. Jadi tentang kontradiksi itu hal yang lumrah terjadi dalam proses memutuskan sesuatu yang harus disepakati oleh banyak pihak.

Tak ada lagi upacara hari pahlawan

Entah diundur ke hari lain atau terlewatkan karena ada 'peristiwa yang lebih penting dari sekedar seremonial' atau karena alasan lainnya... maka tak terdengar gaum peringatan hari pahlawan tepat 10 November 2010. Bertanya kepada salah satu murid saya yang duduk di sekolah dasar, dia menjawab tak ada upacara peringatan hari besar nasional apa pun di sekolahnya... bahkan dia pun tak tahu menahu tentang hari besar nasional yang jatuh pada hari ini. lagi-lagi sosialisasi nilai sejarah tak menjangkau generasi sekarang. Bukan seremonial, bukan sekedar peringatan, dan bukan sekedar bentuk keramaian tertentu yang ingin aku lihat, tapi bentuk evaluasi diri dan penghargaan terhadap pahlawan seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat era ini dan generasi-generasi yang baru terlahir. Maka nyatalah bahwa tak ada lagi upacara hari pahlawan atau pun kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menanamkan dan memperkuat rasa kepahlawanan dalam tiap generasi sekarang ini.
[1] Kamus Besar Bahasa Indoensia
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pahlawan_nasional_Indonesia
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pahlawan_nasional_Indonesia

Sunday, November 7, 2010

Pekerja dan Mempekerjakan

Bekerja, berlabel pekerja, untuk orang lain... melakukan tugas yang disesuaikan dengan job desc tertentu sejalan dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pihak-pihak yang mempekerjakan kita. Sementara keinginan terbesar seorang aku adalah berada di posisi dapat, mampu, dan sanggup mempekerjakan orang lain, mengatur dan menetapkan peraturan sendiri, menganalisa, mengatasi masalah atas hasil analisa sendiri hingga menanggung resiko atau efek dari keputusan yang telah diambil. Namun lingkungan sosial, masyarakat yang menetapkan aturan-aturan, pandangan, tingkatan dalam hubungannya sesama manusia [terutama di Indonesia] sebagian besar masih terus berkutat pada pola pikir 'mahasiswa harus bekerja setelah menyelesaikan studinya di universitas'... menjadi karyawan di BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau perusahaan-perusahaan ternama hingga menjadi pegawai pemerintahan adalah sesuatu yang wah dan secara otomatis meningkatkan kedudukan seseorang di tengah-tengah masyarakat -paling tidak di lingkungannya.
Job fair yang digelar di berbagai kota tak pernah sepi pengunjung, persis seperti konser musik atau audisi ajang pencarian bakat yang berjubel-jubel. Jangankan alumni universitas di luar pulau Jawa, mereka yang notabenenya alumni lulusan ternama di negeri pertiwi ini rela berbaur dengan alumni dari berbagai universitas yang lain dan membawa segala macam dokumen pencitraan diri yang kiranya dapat membuat perusahaan-perusaahan peserta job fair sudi melirik dan menjadikan mereka bagian dari perusahan tersebut. Tak jarang mereka pun harus berjuang hingga ke luar pulau Jawa dan bersaing dengan penduduk lokal, menjadi cibiran dan objek rasa iri para penduduk lokal yang tidak mau lahannya diambil oleh penduduk pendatang. Namun apa daya, itulah adanya di negeri ini, ketika merantau adalah jalan satu-satunya yang harus dipilih dan dijalani ketika lahan di rumah sendiri tak jua mencukupi. Pekerja dan mempekerjakan... kapan kata itu akan berganti posisi... dari yang mendominasi menjadi tak dominan dan mempekerjakan menjadi identitas bangsa.

Friday, October 29, 2010

Sumpah Pemuda: 'Peringatan' yang terlupakan


"Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
... "


Lagu patriotik kepemudaan menggema di dalam lapangan basket indoor tempat berlangsungnya upacara. 28 Oktober 2010. Akan tetapi, lagu itu tersendat di bait kedua, hingga saat lagu itu dinyanyikan lagi dari awal... lagu itu masih dibawakan dengan suara terputus-putus. Ada yang hanya mengikuti di akhir, ada yang berhenti bernyanyi dan mengikuti lagi pada lirik yang diingat kemudian, dan ada yang bertanya ke kiri kanan apa gerangan lanjutan liriknya. Padahal, ruangan itu dipadati ribuan orang yang 90 persennya adalah siswa/i SMP dan SMA yang sejatinya masih akrab betul dengan lagu-lagu wajib nasional. Entah karena lagu-lagu tersebut sudah tidak terdaftar dalam bagian mata pelajaran kesenian atau karena kepedulian dan kebanggaan akan lagu-lagu nasional kian pudar, maka pembawaan lagu patriotik itu harus tersendat-sendat, jauh berbeda ketika aku masih duduk di bangku sekolah dulu.

Bencana yang terjadi beruntun di tanah air memang menyita perhatian seluruh negeri bahkan masyarakat dari belahan dunia yang lain turut bersimpati akan apa yang terjadi di bumi pertiwi. Indonesia berduka, Ibu Pertiwi menangis lagi. Di tengah duka yang menyelimuti negeri, ada satu momen besar yang terabaikan, Sumpah Pemuda. Aku membuka jejaring sosial tepat di 28 Oktober 2010, usai melaksanakan upacara di lapangan basket indoor Palembang. Tidak ada peringatan itu, tidak ada kalimat-kalimat cerminan Peringatan Sumpah Pemuda, seakan ada nuansa tak bersemangat, pemuda-pemuda yang merupakan dominasi pengguna jejaring sosial itu kian sibuk dengan aktifitas dan eksistensinya di dunia maya. Aku bukanlah orang yang tinggal di masa lalu, juga bukan bagian dari pemuda-pemuda yang memproklamirkan "bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu, Indonesia" itu, tak juga ahli sejarah atau peneliti korelasi teknologi dan pudarnya nilai-nilai patriotisme di kalangan remaja. Aku hanyalah satu dari segelintir orang yang merindukan semangat sumpah pemuda di sekitarku.
Sumpah pemuda bukanlah peringatan semata, tidak hanya tercermin dari pelaksanaan upacara saja, jauh lebih penting penanaman nilai-nilai patriotisme, usaha menumbuhkan karakter kepemudaan bangsa, dan pengenalan nilai-nilai sejarah kepada generasi baru agar mereka tak jadi generasi tamu di negeri ini. Sumpah pemuda adalah satu kekuatan pemersatu, memaknai sumpah pemuda sama halnya dengan memaknai bahwa bangsa ini satu... dengan segala keberagaman dan masalah yang ada, maka kembali bersatu dan menguatkan persatuan adalah jalan keluar mutlak untuk bangkit. Selamat hari sumpah pemuda.

Sunday, October 24, 2010

Pengunjung Museum Masih Ada!

Segala sesuatu yang bersifat general -atau umum atau bisa dibilang lumrah terjadi- itu sedikit membosankan... mengingat, di tengah homogenisasi yang memberi warna adalah mereka yang berhasil menjadi berbeda, khas, unik tapi tetap original. Tidak hanya berlaku untuk manusia di antara manusia lain, tapi berlaku untuk segala hal terjauh sekalipun yang sanggup kamu pikirkan dengan batas ambang daya pikir manusia yang telah ditetapkan Tuhan. Hari ini, entah karena pada dasarnya aku tidak terlalu nyaman menjadi sama dan melakukan yang sama dengan orang lain, atau memang ide-ide brilian lainnya sedang tak ingin mampir untuk diaplikasikan... jadilah hari ini aku menghabiskan waktu di beberapa museum.


sebelum berangkat haruslah menentukan tujuan, search daftar museum di google dan akhirnya dapet daftar museum yang ada di Palembang. Sepatuku hampir menapak di semua museum yang ada itu, meski di satu museum... kakiku hanya diijinkan menapak hingga berandanya saja -LOL- (bad news, hari ini juga aku belum berkesempatan untuk masuk, melihat, dan mengenal isi museum itu). Hal itu juga menunjukkan bahwasannya ada satu pengunjung museum yang potensial disini... hahaha.


Berbekal daftar museum yang ada di Palembang dan tahu persis dimana lokasinya... berangkatlah aku dengan penuh semangat menghabiskan akhir pekan untuk sesuatu yang berbeda. Berbagai ide dan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan berdesakkan bak penumpang busway di Ibukota... tapi sayang seribu sayang harus ada kecewa ketika sampai di depan Musem Dr. A. K. Gani di Jl. M. P. Mangkunegara, pintunya tertutup rapat, sebuah gembok terpasang penuh kuasa, museum tutup. Padahal jelas sekali dari papan pengumuman di depannya bahwa museum itu buka setiap hari untuk waktu tertentu yang aku yakin saat aku menginjakkan kaki disitu adalah saat yang tepat. Tersembunyi di balik sebuah pom bensin... yang terlihat dari luar hanyalah patung Dr. A. K. Gani dari sisi pom bensin, di belakangnya hanyalah bangunan tua tak menarik dari sisi pewarnaan, seperti rumah penduduk biasa, padahal itulah bangunan yang menyimpan banyak informasi penting, sejarah yang membangun apa yang ada saat ini. Bangunan museum kurang dirawat, tak ada staf yang tampak untuk memberi informasi, tak ada pemberitahuan tentang mengapa museum tidak dibuka pada saat itu, dan tak ada pengunjung lain yang datang hingga semua pertanyaan berhenti pada kata tanya.
I will never stop, akan ada saatnya aku bisa masuk ke sana, mungkin memang tidak untuk hari ini. Melangkah ke tujuan selanjutnya Monpera -Monumen Perjuangan Rakyat-, dibangun untuk mengenang pertempuran 5 hari 5 malam yang terjadi di Palembang. Jujur saja, aku juga baru tahu bahwa di dalam monumen itu ada museum yang memuat sejarah revolusi Indonesia... itu pun dari tayangan di televisi, artinya, informasi tentang museum belum tersebar secara merata untuk masyarakat kota Palembang sementara orang-orang dari luar daerah jauh lebih peduli dan peka terhadap hal-hal penting yang ada di kota Palembang. Better late than never, maka jadilah hari ini aku bertransformasi dari manusia yang tak tahu menjadi tahu. Lagi-lagi aku harus menahan kecewa ketika sampai di Monpera dan mendapati bahwa museum dalam keaadaan tidak terbuka untuk umum dan aku harus kembali esok jika masih ingin mendapatkan apa yang aku inginkan... tidak hanya museum Dr. A. K. Gani dan Monpera saja yang tutup, bahkan museum Sultan Mahmud Badaruddin II juga tutup. Hingga muncul satu pertanyaan besar di kepalaku, "Mengapa museum tutup pada hari minggu?", padahal hari minggu adalah hari yang memungkinkan lebih banyak orang datang berkunjung karena terbebas dari kegiatan wajib pada hari kerja. Terbukti dari banyaknya pengunjung yang ada di halaman museum... meski tak sebanyak pengunjung mall, tapi akan sangat bermanfaat jika mereka bisa masuk dan mendapatkan informasi mengenai museum.




Hasil berkelana di beberapa museum, membuat aku melihat kondisi bangunan-bangunan pusat informasi sejarah suatu daerah bahkan negara, berada dalam kondisi memprihatinkan dengan penataan konvensional dan minimnya staf atau pusat informasi mengenai museum yang bersangkutan. Namun, perjalanan hari ini juga membuktikan bahwa PENGUNJUNG MUSEUM MASIH ADA, dan untuk pengunjung yang masih ada ... keberlangsungan museum juga masih perlu dirawat dan dipromosikan hingga masyarakat setempat mengenal sejarah tempat dia tinggal dan bangsanya. Berharap bahwa semua museum yang ada di Palembang akan buka setiap hari dan mendapat pengunjung lebih banyak dan lebih banyak lagi, dengan kondisi yang semakin membaik dan sejarah di dalamnya tetap terjaga untuk para generasi mendatang.

Wednesday, October 20, 2010

Good News & Bad News


"Sometimes people come to you
and say that they have both the good and bad news for you,
then they ask whether you want to have the good or the bad for the first...
it's been common to have the bad first,
and I have both the good and bad news for you reader -actually it's just for me myself
sharing is a good action anyway... lol


it's not the best time for me to get what I want..
I've to wait lil longer that I expected,
but I believe that there will be the best time for me to have what I want
it's related to my ITP result, under my target and the minimum score of those scholarships,
fewer some points... huft.
:) I will never give up


then the good news...
when I went to Jakarta I did really want to have cute batik bag,
but I couldn't buy that,
yesterday... just several days after,
I got that bag from the parents of my student as a gift.
what a nice moment,


see... there will be happiness even when you feel so bad in life."

Monday, October 18, 2010

Mahasiswa Generasi Internet

Mahasiswa-mahasiswa generasi internet ini
menginginkan semuanya (materi kuliah)
tersedia dengan bebas di hadapan mereka
sebebas mereka mendownload video di youtube

copy paste, dibuka ketika mata kuliah berlangsung,
tanpa pernah dicuri baca ketika begitu banyak waktu luang
lebih dipilih untuk bersenang-senang di pusat hiburan
dicetak ukuran paling kecil
dikemas dalam begitu banyak lipatan
dan terbuka lebar kala ujian
terselip di berbagai tempat tak terbayangkan
menjadi acuan paling utama untuk mengerjakan soal

aih... sampai detik ini
aku masih begitu menghargai
semua kenangan berjibaku dengan buku-buku penunjang perkuliahan
tapi MEREKA!
tak sedikitpun menaruh respek..

ya...
dilihat dari sudut mana pun
aku memang tak mempunyai potongan dosen...
jika aku berada di posisi mereka,
aku juga punya gambaran yang sama tentang sosok dosen yang akan mengajar
berusia lanjut, berpenampilan old fashion, telah berkeluarga dan sebagainya,
sementara aku...
persis seperti anak SMA
tapi aku tetap akan menekankan pada mereka
bahwa untuk mata kuliah apa pun, mereka harus tetap menaruh respek
dan memberikan usaha terbaik untuk mendapatkan nilai terbaik

Sunday, October 17, 2010

Melancong ke Ibukota demi ITP

A dream to continue my study overseas in one circumstances -scholarship- made me went to the central city, Jakarta. That was all for a piece of ITP (Institutional TOEFL Program) result. Well, people say that "there must be something to be sacrificed for the thing you really wanted -and often many". Travelling not for enjoying the environment, visiting nice places, or spending time with your buddies there... not in the real meaning. But at least, I went around 3 parts of Jakarta -from central, east, till the south of Jakarta- by myself and by keeping the most important thing "Jl. Merpati no.21 Halim PK" LOL, that's the address of my family's house anyway.


*all images captured, had been moved. in the name of convinience. sorry.


(pose in front of National Monument Jakarta... The cool architecture -considering that building was built long time ago, when the architecture world in Indonesia isn't as cool as today)

(pose... in some corners I had waiting for years)
:D

well, about the ITP itself was held on October 12th, 2010. As a villager let to visit Jakarta by myself for the first time... I went to Neso office in Jamsostek Tower, South Jakarta. That was totally different with the condition in my city. Beside I had to follow the test in such kind of fantastic building... I had to face 'the competition feel' among the participants. The strict rule was applied correctly, and now I hope I can get the best result which fits the minimum score of the administrative requirements. Amin.

Saturday, October 16, 2010

Dunia Tanpa Bhineka

Dunia bukan dunia jika semua satu warna, dan tak ada aku, kamu, atau mereka.

**jeda**

Waktu yang cukup lama dengan pikiran yang disesaki berbagai keberagaman ketika mencari sedikit saja cela keseragaman.

Sulit sekali membayangkan hidup tanpa keberagaman. Ketika semuanya hanya satu warna atau homogen jika merunut bahasa ilmiahnya.

Sipit, bulat, hitam, putih, keriting, lurus, tinggi, pendek, dan semua keberagaman yang sering terabaikan itu sangat berarti membuat manusia menjadi manusia yang hidup dalam dunia yang sebenarnya. Luangkan waktu sejenak untuk sekedar membayangkan bahwa semua manusia mempunyai ciri fisik hingga sifat yang sama, berkulit putih, tinggi, berambut lurus, dan mempunyai bentuk hingga lekuk tubuh yang sama satu dengan lainnya. Semuanya seperti kumpulan manusia cloning yang tidak akan mengenal kata iri dengan bentuk/ lekuk tubuh manusia lain karena apa yang mereka miliki persis sama dengan yang lain. Maka, kita tak akan pernah mengenal kata keriting, hitam, hingga istilah langsing karena faktanya dalam keseragaman semua hanya satu modelnya, satu bentuknya dan semua persis sama. Entah bagaimana cara berkomunikasi di tengah masyarakat yang persis sama satu dan yang lain, karena nama manusia sendiri tercipta karena adanya perbedaan ciri fisik yang menggambarkan sosok sang empunya nama.
Dunia tanpa bhineka, dunia tanpa keberagaman. Ketika semua manusia hanya mengenal satu bahasa… maka tak akan ada pertengkaran antara kelompok orang berbeda asal yang mengalami miskomunikasi karena bahasa yang beranekaragam. Tapi, jika manusia hanya mengenal satu bahasa, maka tak akan ada usaha manusia untuk belajar mengerti bahasa masyarakat dari belahan dunia lain karena keinginan berkomunikasi dan bertukar informasi. Manusia hanya perlu membawa satu kamus besar bahasa saja kalau begitu, dan hidup dalam keterbatasan kosa kata. Tak akan pernah ada materi bahasa serapan dalam pelajaran bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia sendiri mungkin tidak akan pernah dikenal dalam dunia tanpa keberagaman bahasa.
Ketika semua manusia terlahir berkulit putih, maka takkan ada cerita perjuangan bangsa kulit hitam untuk menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sama dengan bangsa kulit putih. Takkan ada presiden kulit hitam pertama di tengah masyarakat kulit putih, dan sejarah suatu bangsa tidak akan begitu melibatkan perasaan ketika akhirnya suatu perjuangan menemui titik terang. Jika semua manusia berambut lurus maka takkan ada inovasi alat pelurus rambut yang membuat jutaan wanita rela antri di salon-salon kecantikan demi meluruskan rambutnya dengan alat itu. Jika semua manusia terlahir persis sama dalam dunia tanpa bhineka, hingga semua bentuk daun hanyalah satu rupanya… maka dunia yang seperti itu bukanlah dunia yang sesungguhnya dan membayangkan hidup tanpa keberagaman mengarahkan diri pada jutaan kemungkinan yang membosankan, mengerikan, bahkan tak terbayangkan.
Ya, dunia tanpa bhineka, dunia tanpa keberagaman bukanlah dunia. Manusia tanpa keberagaman tidak akan pernah dikenal sebagai manusia. Bahkan matahari yang membantu melihat keberagaman dengan menebarkan keberagaman itu sendiri lewat MEJIKUHIBINIUnya, pun takkan ada Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika tanpa bhineka itu sendiri.

Tuesday, October 5, 2010

Menjalani Potongan Cita-cita

Banyak yang ingin ditulis tapi entah kenapa belakangan jadi sangat sulit untuk menuangkannya secara nyata. Life has been much fun recently, meski aku masih beradaptasi untuk menjadi satu bagian dari hidupku saat ini. Selalu ada perbedaan dan aku menyesuaikan diri untuk hal-hal yang aku kehendaki, bukan mengubah diri. Sebagian besar aktifitas dimulai setelah makan siang hingga malam (perlu dicatat, aku tidak ada di rumah selama rentang waktu itu). Untuk alasan yang kuat dan cita-cita yang tetap kurengkuh, maka aku menjalaninya. Meski di lain sisi Ayah dan Ibuku saja yang sering mengingatkan bahwa aku menjalani begitu banyak kegiatan.

previous posting, Aku Sepuluh Tahun Lagi, potongan tulisan yang menjelaskan akan menjadi apa aku sepuluh tahun lagi. Untuk sampai ke waktu itu, di sinilah aku berada saat ini, larut dengan segala aktifitas yang memang harus kulakukan jika aku masih ingin sampai pada saat itu. Melakukan semua yang aku mau sebelum aku sampai pada kata istirahat. Sekarang aku sudah mendapatkan sedikit gambaran bagaimana rasanya menjalani hidup yang demikian. Tubuh bergerak dari satu tempat ke tempat lain, berpacu dengan waktu, turun dari satu bus ke bus yang lain, bertemu banyak orang, menjalankan kegiatan yang berbeda-beda, hingga akhirnya sampai ke pembaringan di ruang pribadi untuk melepas lelah sebelum beraktifitas lagi.

Pelajaran yang kudapat, untuk mencapai cita-cita sepuluh tahun yang akan datang... maka aku harus bersiap dari sekarang. Menjaga stamina yang sangat krusial untuk manusia hiperaktif LOL, meningkatkan kedisiplinan dalam soal waktu jika tidak mau ditegur oleh orang lain (aku sempat kelabakan juga dengan manajemen waktu karena aktifitas yang seolah tidak pernah putus, tak ada jeda dimana kamu bisa meluangkan waktu untuk sekedar nonton infotainment), memanfaatkan waktu sebaik-baiknya (lebih merasakan bagaimana harus memanfaatkan 5-10 menit selama di bus untuk bisa membaca ato sedikit belajar), semua proses ini menyenangkan. once again, life has been much fun for me, happy to share with you
.

Saturday, April 24, 2010

Aku sepuluh tahun lagi





Jika aku seorang Chairil Anwar, 10 tahun mungkin tidak akan memberikan perubahan yang signifikan di sisa 1000 tahun kehidupanku. Tapi aku bukan beliau meski aku ingin hidup jauh lebih lama dari itu untuk merealisasikan semua mimpi-mimpiku. Melihat dokumentasi hidup tentang diri sendiri, tentang seorang aku, dengan segala metamorfosa yang terekam lewat gambar, tulisan, dan cerita sahabat, aku berkata yakin “my life changes a lot”.

Sepuluh tahun yang lalu, aku masih berseragam putih merah. Belum begitu jelas memikirkan bagaimana aku di sepuluh tahun kemudian, tapi satu yang pasti dalam ingatan bahwa aku sudah menanamkan niat yang kuat di dalam hati bahwa “aku ingin ‘dilihat’”. Ada hukum alam yang selalu dibicarakan oleh para tetua sebagai wejangan untuk anak cucunya -dilakukan berulang-ulang hingga mustahil untuk dilupakan- bahwa “hanya dua tipe manusia yang akan dilihat dan diingat oleh dunia, mereka yang sangat baik atau yang sangat buruk. Sangat pandai atau sangat bodoh, berbudi baik atau menjadi kendali di hampir setiap keonaran. Sementara mereka yang berada di antara keduanya atau yang biasa-biasa saja, tidak akan dilihat bahkan sangat potensial untuk dilupakan”. Hukum alam yang rajin diperdengarkan para tetua termasuk para guru semasa sekolah itulah yang kuterapkan dalam rentang waktu sepuluh tahun ini dan akan tetap dijalankan sepuluh atau dua puluh tahun mendatang bahkan di sisa hidup seorang aku.

Banyak cerita dari tiap motivasi dan proses yang terjadi untuk menata hidup lebih baik. Cerita dan proses yang mungkin tidak begitu penting untuk sebagian orang yang tidak berhubungan dengan cerita atau pun proses itu sendiri, hingga akhirnya aku jadikan bagian dari sekelumit kecil rahasia kehidupan seorang aku. Aku dengan rahasiaku, -dengan semua mimpi dan optimisme serta usaha untuk mentransformasikan jutaan mimpi menjadi realita- menjadi pribadi yang terkesan begitu serius untuk orang-orang disekitarku hingga mereka bingung mencari cara berkomunikasi dengan seorang aku. Mereka sebagai manusia independen dan tidak berkoalisi secara aktif denganku memang mempunyai hak penuh untuk memperlakukan aku sebagai pribadi yang serius dan kaku seperti apa yang sudah mereka gambarkan dalam kepala mereka masing-masing. Dulu aku adalah seorang pemimpi ulung, tapi kini aku sudah terbangun. Aku sudah puas bermimpi di sepuluh tahun sebelumnya dan sekarang aku berada pada fase dimana aku berjalan, berlari kecil, jatuh, bangkit, dan berlari lagi di sisa tenagaku bahkan tak jarang terseok-seok untuk semua mimpi yang akan bermetamorfosa menjadi realita yang mengagumkan di sepuluh tahun mendatang.

Aku sepuluh tahun yang akan datang –yang kalau tak berbelok arah mata angin masa depan seorang aku- akan menjadi “orang sibuk” seperti apa yang aku cita-citakan sebelumnya. Aku beri peringatan untuk menahan hati dan lidah untuk tidak mencibir, mencemooh, merendahkan bahkan meragukan semua yang aku kejar. Sedikit peringatan lebih keras untuk menjaga matamu agar tidak terlihat jelas bahwa kamu memandangku dengan sebelah mata bahkan dari ujung bola matamu. Kamu harus mengindahkan peringatan itu sebelum kamu mendengar lebih jauh tentang apa yang akan menimpa seorang aku di sepuluh tahun mendatang. Aku akan menjadi orang sibuk (kamu tidak akan mendengar lebih dari dua kali, akan menjadi apa aku ini di sepuluh tahun mendatang karena aku yakin kamu akan ingat betul). Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup bagiku menyalurkan semua keinginan untuk belajar hingga mencapai gelar doktor, meski aku belum akan berhenti di titik itu untuk belajar karena yang aku yakini di sepuluh tahun yang akan datang aku akan berjibaku dengan bermacam-macam penelitian demi mendapatkan gelar prof. Ini bukan perkara gelar yang akan menghiasi namamu di tahun-tahun yang akan datang sebagai pertanda sejauh mana kamu sudah menempuh pendidikan, ini bukan soal prestige yang akan meningkatkan kedudukan sosialmu seiring meningkatnya pendidikanmu –meski itu akan terjadi-, tapi cita-citaku yang menuntut aku menempuh pendidikan sampai ke taraf itu. Aku ingin menjadi seorang reviewer, mulanya karena keuntungan dapat bepergian ke seluruh dunia karena kamu memang akan diakui oleh dunia dengan pendidikan setingkat itu, tapi kemudian alasannya bergeser menjadi ingin membaca semua hasil pemikiran orang di seluruh dunia. Ingin melihat inovasi-inovasi di jaman serba ada dengan sudut pandang, bahasa, latar belakang budaya dan semua sisi yang berbeda dengan seorang aku. Kembali lagi bahwa di sepuluh tahun mendatang aku akan disibukkan dengan berbagai penelitian untuk menyelesaikan studiku sembari bekerja di perusahaan telekomunikasi yang memang linier dengan latar belakang pendidikanku. Bekerja dengan standar jam kerja di negeri ini, berbagi ilmu dengan generasi milenium di sore hari, dan berbagi waktu dengan keluarga di sisa waktuku. Akhir pekan tentu akan menyenangkan melakukan apa yang kamu sukai, dan di akhir pekanku 10 tahun yang akan datang aku akan berusaha menangkap momen-momen di alam raya lewat kedua mata dan lensa kameraku. Minggu petang akan menjadi waktu yang mengasyikkan untuk duduk di sebuah perpustakaan sederhana milikmu yang terkemas rapi dengan semua koleksi buku-buku limited edition, akan lebih menyenangkan berbagi ruang dan cerita bersama sahabat di tempat itu. Itulah yang kuperjuangkan untuk terjadi dalam kehidupanku 10 tahun mendatang. Sekarang kamu bisa mengabaikan semua peringatanku di awal tadi, hingga aku bisa mendengar bahwa kamu berteriak keras bahwa aku hanyalah seorang pemimpi ulung. Tapi dengarlah wahai saudara, pemimpi ini jauh lebih baik daripada kamu yang tak berani bermimpi.

Friday, January 29, 2010

Konvergensi: Melahirkan Entrepreneur Bermodal HP

Sekitar sepuluh tahun yang lalu saya yang berseragam putih merah masih sangat merasa asing dengan adanya pelajaran bahasa inggris, itu pun diajarkan di tahun ajaran terakhir sekolah dasar. Sekarang setelah lebih sepuluh tahun berjalan saya menjadi saksi dimana anak-anak bangsa dari umur 3 tahun pun sudah diperkenalkan dengan bahasa asing itu, sama halnya dengan penggunaan teknologi. Jaman itu semua surat berformat sama dengan dua warna –hitam dan putih- yang dicetak dengan ‘mesin berisik’, tapi sekarang sudah berawrna-warni dan “nggak perlu dikirim lewat pos, bisa dikirim lewat kabel” kata ibu saya yang besar di tengah suara mesin berisik itu. Jaman itu juga komputer masih dianggap barang sakti, sekarang? Itu sudah jadi kebutuhan sekolah anak sekolah dasar. Saya beruntung dilahirkan di tempat yang mengalami kemajuan teknologi cukup pesat, menjadi saksi transformasi teknologi dan perkembangan metode berkomunikasi manusia. Saya tidak harus mencari sinyal di pohon asam atau menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk mencari tuan sinyal itu demi berkomunikasi dengan saudara ataupun teman-teman. Semuanya karena perkembangan teknologi. Meski saya jauh prihatin bahwa teknologi informasi dan komunikasi yang saya nikmati dengan leluasa karena tersedia dengan baik di kota saya ini belum dapat dinikmati oleh daerah-daerah terisolir di tanah air. Tapi saya yakin kondisi jaringan telekomunikasi sudah berkembang dan akan terus berkembang ke arah yang lebih baik berkat teman-teman dari Oepoli atau Seliuk.
Berbagai mata kuliah semester awal mengokohkan konsep adanya teknologi yakni untuk memberikan kemudahan bagi aktivitas manusia, termasuk teknologi informasi dan telekomunikasi yang memudahkan manusia berkomunikasi satu sama lain tanpa terhambat jarak dan waktu. Berkomunikasi merupakan bentuk kegiatan manusia untuk menjaga hubungan horizontalnya. Perjalanan waktu membawa kebutuhan untuk berkomunikasi ke tingkat yang lebih tinggi hingga pernah salah seorang teman berkata “pulsa itu sudah jadi kebutuhan pokok, setiap orang yang punya HP (handphone) pasti mau sms atau telepon dan semuanya butuh pulsa, jadi kalau bisnis warung pulsa nggak bakalan rugi. Lebih lagi ya buka usaha telekomunikasi” candanya. Saya pun merasa teknologi yang berkembang pesat itu memberikan banyak kemudahan dan menjadi kebutuhan yang melekat pada tiap-tiap orang sekarang ini.

Dari tas 6kg menjadi HP dalam genggaman

Duduk di bangku SMA saya mengandalkan komputer pemberian Bapak untuk mengerjakan semua tugas, Bapak sendiri masih suka mengambil foto dengan kamera berisi roll film di dalamnya dan masih harus memutar kaset untuk mendengarkan musik. Semuanya dengan perangkat yang berbeda dan format ‘jadul’ -istilah anak muda sekarang. Semakin lama semuanya berubah, bertransformasi ke dalam bentuk sekecil-kecilnya. Awal bangku kuliah saya mulai berkenalan dengan laptop yang membuat komputer pemberian Bapak, kamera ber-roll film dan tape jadul kehilangan perhatian sebelum akhirnya tersingkir. Kebutuhan semakin bergeser, tak hanya ingin mengerjakan tugas atau mendengarkan musik dan berfoto dengan kualitas kamera seadanya mengandalkan laptop itu, tapi menjadi ingin semakin memaksimalkan fungsinya. Kemudian muncullah teman baru yang membuat jam tidur praktis berkurang karena rasa ketertarikan yang amat sangat –internet. Membawa saya menjelajah seluruh dunia dan belajar banyak dalam waktu singkat.
Saat itu saya ingat betul bahwa setiap kali berangkat kuliah atau kemanapun, tak kurang 6kg melekat di punggung. Alhasil, saya sering mendengar pertanyaan tetangga ataupun teman-teman “mau naik gunung neng?”. Semuanya karena saya memang harus membawa laptop, charger-nya sendiri plus fan-nya, ditambah kamera saku yang saya andalkan untuk mengambil gambar karena tak memungkinkan menggunakan kamera laptop, saya juga harus menyertakan peralatan tulis dan kelengkapan kecil lain yang kalau kesemuanya ditimbang mencapai 6kg bahkan bisa lebih. Ya, saya harus memikul 6kg itu sendiri karena mungkin dalam perjalanan saya singgah di tempat-tempat yang menyediakan fasilitas wi-fi. Sekarang, belum sempat saya menyelesaikan penelitian tentang pengaruh peningkatan wi-fi terhadap menurunnya pengunjung warnet, saya sudah punya hipotesis baru bahwa HP menggeser kedudukan laptop atau notebook terlebih warnet. Teknologi itu tidak berkembang hingga puncak, karena sebelum melesat ke dunia wi-fi addict -dimana tempat-tempat penyedia fasilitas tersebut merada di semua pelosok kota dan pemandangan menjinjing laptop sama biasanya dengan membawa buku-buku pelajaran- kita sudah sampai pada suatu masa ketika dunia melesat ke alam audio-visual, virtual, multimedia, dan mobile –dalam genggaman.
Kini, ketika mencoba menengok ke kanan atau ke kiri di tempat-tempat umum, hampir semua orang sudah menggenggam HP canggih -yang tidak hanya memenuhi standar fungsional sebagai media bertelepon atau berkirim pesan saja. Lebih dari itu, menonton TV, berbicara tatap muka, mendengarkan musik, menonton video, mengerjakan tugas kantor, sampai berselancar di internet bisa dilakukan dengan sebuah HP dalam genggaman anda. Melihat dari sisi efisiensi tentu saya juga tidak harus membawa tas 6kg itu kalau kesemua fungsi mulai dari mengambil gambar dengan resolusi tinggi sampai tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan laptop dapat saya kerjakan dengan perangkat dalam genggaman itu. Beberapa waktu kemudian barulah saya mengenal istilah konvergensi untuk hal yang saya alami di atas.
Konvergensi sendiri merupakan kondisi dimana terintegrasinya produk-produk yang terpisah-pisah menjadi satu, atau bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran dimana penyelenggaraan jasa telekomunikasi memungkinkan telekomunikasi terselenggara melalui media apa saja, termasuk TV, radio, dan multimedia. Manfaat yang paling sederhana yang dapat dirasakan tentunya konvergensi meminimalkan bobot perangkat yang harus dibawa oleh orang per orang, lebih lanjut layanan informasi menjadi lebih beragam dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat dimana saja. Selain manfaat paling sederhana tersebut masih ada banyak manfaat dan perubahan dalam kualitas hidup masyarakat yang lain dengan adanya konvergensi IT dan telekomunikasi itu sendiri. Mulai dari semakin banyak rumah-rumah yang terhubung langsung ke internet karena meningkatnya kebutuhan dan perubahan orientasi pergaulan dimana berkembang paradigma “eksis di dunia maya baru keren” di kalangan remaja yang notabene-nya adalah 64% dari total pengguna internet di Indonesia. Kemudian penggunaan media digital yang menggeser kedudukan media konvensional, dimana orang dapat berinteraksi langsung melalui internet dengan biaya yang lebih murah meski terpisah benua. Mereka yang cerdik tentu melihat potensi dibalik mungkinnya orang berkomunikasi dua arah dalam waktu singkat dan biaya murah itu dengan membuat bentuk pelayanan terhadap pelanggan usaha mereka sampai beragam usaha baru yang kemudian dikenal dengan e-commerce. Transaksi-transaksi dagang sudah sangat banyak diselenggarakan dan memungkinkan siapapun membentuk usahanya dengan media itu termasuk saya.

Menjadi Entrepreneur Bermodal HP

Saya bermimpi menjadi seorang entrepreneur demi kebebasan berekspresi dan menjadi pemimpin atas diri sendiri hingga upaya membuka peluang baru bagi masyarakat yang lain. Mimpi itu semakin kuat setelah mendengar pendapat David McClelland yang menyatakan bahwa “sebuah negara akan menjadi negara yang sejahtera dengan memiliki setidaknya 2% entrepreneurs dari total populasi”. Namun, kebanyakan cara pandang mahasiswa yang dulu juga sempat mampir ke benak saya yakni bahwa saya harus bekerja dan mengumpulkan modal cukup sebelum menjadi seorang entrepreneur. Benturan itu juga akhirnya membuat saya berusaha menciptakan suatu media untuk mahasiswa mencari donatur usahanya -bernama entrepreneurship-kiosk. Akan tetapi media itu juga masih memerlukan sosialisasi dan proses hingga semua sistem stabil sebelum menelurkan entrepreneur-entrepreneur kampus. Tak bisa menunggu akhirnya saya memanfaatkan beberapa layanan internet untuk membuka usaha online, hanya bermodal hobi, sedikit pengetahuan tentang internet, laptop dan koneksi internet gratisan dari orangtua.
Mulanya saya membuat sebuah account di facebook untuk menawarkan produk buatan tangan sendiri berupa aksesoris, kemudian mulai memanfaatkan berbagai fitur yang disediakan situs jejaring sosial itu untuk mulai mencari remaja putri sebagai target penjualan untuk dijadikan teman di dalam account itu. Saat ini, saya melihat sudah cukup banyak mahasiswa kreatif yang membuka usaha online memaksimalkan fungsi facebook dan produk yang dijual pun beragam, mulai dari aksesoris kecil hingga sepatu atau tas impor. Saya sendiri tetap berjalan dengan pijakan bahwa saat ini ada 20 juta pengguna internet di Indonesia dan 64% nya adalah remaja, otak saya mulai bekerja dan menghitung jika maksimum jumlah teman yang saya miliki di situs itu adalah 5000 orang dan 20%-nya saja yang membeli produk saya dengan rata-rata harga 20 ribu rupiah, saya sudah akan mendapatkan 20 juta. Saya memang bukan berasal dari kalangan ekonom, jadi saya paham betul bahwa hitung-hitungan itu masih sangat kasar tanpa dipotong biaya operasional hingga mendapatkan laba bersihnya karena memang bukan itu yang saya ingin sampaikan. Saya sekedar mengilustrasikan bahwa pasar ini potensial meski untuk ukuran mahasiswa seperti saya.
Saya menerapkan sistem COD (Cash On Delivery) karena sasaran awalnya adalah pengguna internet di dalam kota, melalui pemesanan via sms ke nomor telepon yang saya cantumkan di account tersebut. Begitulah prosesnya, saya memperkenalkan produk-produk lewat facebook, berinteraksi dengan calon pembeli dengan media yang sama, menerima pesanan via sms, membuat barang sesuai pesanan sebelum diantarkan dan menerima pembayaran saat barang sampai di tangan pembeli. Mulanya memang lancar, tapi lama kelamaan saya mulai kelabakan karena ternyata pasokan internet gratis dari orangtua sering tersendat-sendat seperti pasokan listrik yang suka padam tanpa kompromi. Mulai dari gangguan jaringan di pihap internet service provider, internet yang tidak reliable karena terkoneksi langsung ke server di kantor Bapak yang kebetulan posisinya di dekat rumah –jadi ketika server itu mati maka secara otomatis koneksi internet di rumah pun akan putus. Belum lagi, internet gratisan itu cable oriented karena terhubung ke server lewat jaringan LAN, sehingga saya harus kembali memikul tas 6kg untuk mencari titik-titik hotspot untuk berinteraksi lagi dengan calon pembeli.
Akhirnya setelah mengenal produk yang dilahirkan oleh proses konvergensi IT dan Telekomunikasi berwujud HP, saya memutuskan untuk menggunakannya demi kelancaran pembelajaran menjadi entrepreneur itu. Kini saya masih menggunakan fasilitas facebook sebagai media promosi produk dan komunikasi dengan calon pembeli, namun tak ada lagi ketakutan akan putusnya koneksi internet ketika saya sedang berkomunikasi dengan calon pembeli. Saya pun dapat lebih leluasa melakukan proses itu dimana saja karena tidak terhambat dengan rentangan kabel. Skala usaha saya memang masih kecil dan belum bisa disandingkan dengan entrepreneur-entrepreneur besar yang ada, tapi setidaknya konvergensi IT dan Telekomunikasi itu telah berhasil mewujudkan mimpi saya dan mimpi mahasiswa-mahasiswa di luar sana. Sekarang mulai hitung menghitung, dengan 1,4 juta penganggur terdidik di tahun 2007, jika 10% dari mereka mulai mengasah otak dan membuka usaha online kreatif apa saja bermodalkan HP, ditambah 10% dari total mahasiswa aktif di seluruh Indonesia yang juga membuka usaha online, maka kita dapat membayangkan berapa banyak entrepreneur yang dimiliki Indonesia dan waktu yang diperlukan untuk menjadi bangsa yang sejahtera akan semakin pendek.